Hai, teman-teman pembaca! Selamat datang di seri baru di blog ini: Karakter Favorit 101, di mana kita bakal mengulik tokoh-tokoh fiksi yang bikin hati berdebar, entah karena karismanya, kompleksitasnya, atau justru sifat-sifat toxic-nya yang bikin kita geleng-geleng kepala.
Nah, ngaku deh, pernah nggak sih kamu baca buku atau nonton film, lalu tiba-tiba jatuh cinta sama karakter yang sebenarnya jelas-jelas bermasalah? Entah itu si antagonis licik yang senyumnya bikin merinding, si bad boy yang dingin di luar tapi punya sisi rapuh, atau antihero yang moralnya abu-abu. Meski kita tahu mereka troubled (atau bahkan jahat), kita tetap aja kepincut. "Ini kenapa ya? Apa aku yang aneh?" Tenang, kamu nggak sendirian!
Di artikel ini, kita bakal bahas alasan psikologis dan naratif di balik daya pikat karakter-karakter ini. Apa karena karisma mereka yang memukau? Atau jangan-jangan, ada sisi manusiawi mereka yang justru bikin kita relate? Yuk, kita telusuri bareng!
P.S.: Karena blog ini fokus di dunia literatur, contoh-contohnya akan banyak dari buku. Tapi tenang, beberapa prinsipnya bisa berlaku buat karakter fiksi secara umum!
A. SIAPA AJA MEREKA?
Sebelum kita membahas kenapa karakter kayak gini bisa bikin hati deg-degan (dan kadang gregetan), kita kenalan dulu, yuk, sama tipe-tipe karakter yang masuk kategori troubled hingga jahat ini.
1. Villain/Villainess
Mereka ini tokoh yang secara aktif melawan si tokoh utama alias protagonis. Biasanya jadi sumber masalah atau konflik terbesar di cerita. Bisa jahat banget, bisa juga punya motivasi yang bikin kita mikir, “Hmm, dia gitu karena apa, ya?”
Contoh: The White Witch (Jadis) dari The Chronicles of Narnia, penyihir yang bikin negeri selalu musim dingin tapi gak pernah Natal. Kenapa dia disukai? Dingin, elegan, berkuasa. Meski jahat, dia punya pesona tersendiri. Musuh klasik yang bikin cerita jadi makin tegang dan berkesan.
2. Bad Boy
Bukan penjahat utama, tapi sering jadi gangguan (atau godaan?) buat tokoh utama. Karismatik, kadang nyebelin, tapi ada sisi rapuh yang bikin penasaran. Bisa jadi love interest, bisa juga cuma bikin emosi campur aduk.
Contoh: Yin Nezha dari The Poppy War, si anak panglima perang yang sombong dan kasar, kadang membantu, kadang bertentangan dengan kepentingan si protagonis. Bukan musuh utama, tapi selalu punya konflik sendiri (Spoiler: fanartnya ganteng-ganteng amat ya). Kenapa dia disukai? Punya aura misterius dan penuh luka. Sikapnya bikin gemes (personally he deserved to be sealed dalam gentong biar terfermentasi), tapi ada sisi yang bikin kita "lho ngapain kamu jadi baik, hah? Let me hate you!"
3. Anti-hero
Mereka adalah tokoh utama, tapi nggak punya sifat heroik yang biasa. Kadang egois, suka ambil jalan pintas, atau bahkan ngelakuin hal-hal morally abu-abu. Tapi anehnya kita tetep dukung dia.
Contoh: Edmond Dantès dari The Count of Monte Cristo, awalnya korban, tapi setelah dikhianati, dia balas dendam dengan cara yang dingin dan brutal. Kenapa dia disukai? Karena kita ngerti rasa sakitnya. Kita tahu dia berubah karena pengalaman pahit. Dan kadang kita juga pengen bisa ngelakuin hal yang sama kalau ada di posisinya.
4. Bad Girl
Tokoh perempuan yang gak mau nurut aturan. Tampil beda, berani ambil risiko, dan sering dianggap berbahaya karena terlalu mandiri atau terlalu jujur.
Contoh: Art3mis dari Ready Player One. Kenapa dia disukai? Nggak pasrah. Mandiri, kompetitif, tapi punya prinsip. Gak asal ikut cowok, malah sering lebih keren dari cowoknya.
5. Anti-Heroine
Tokoh utama perempuan yang tidak ideal-ideal amat. Bisa kejam, keras kepala, atau bertindak demi kepentingan sendiri, tapi tetap bisa kita pahami.
Contoh: Rin dari The Poppy War, dari yang miskin sampai jadi pemimpin pasukan perang. Kenapa dia disukai? Kesulitan dan problem yang dia hadapi terasa nyata. Sakit hatinya kelihatan. Dan walau kadang ekstrem, kita paham kenapa dia sampai bisa jadi seperti itu.
B. ALASAN KENAPA KITA BISA SUKA MEREKA
1. POWER FANTASY: "AKU PENGIN SEPINTAR DAN SEKUAT DIA!"
Kekuasaan itu addictive, dan karakter yang punya kendali penuh atas situasi (atau bahkan orang lain) selalu bikin kita low-key kagum. Mereka licik, punya rencana brilian, dan bisa main catur sementara orang lain cuma jadi pion. Meskipun caranya kejam, kita tetep terhibur.
Contoh paling iconic? Light Yagami dari Death Note. Di depan, dia anak baik-baik, di belakang, dia play god pakai buku ajaib dewa kematian. Dan anehnya, kita malah seneng pas dia berhasil mengalahkan musuhnya. Kenapa? Karena di dunia nyata, kita jarang punya kontrol sebesar itu. Melihat karakter seperti Light memberi kita ilusi kekuatan kayak "Kalau aku kayak dia, mungkin para koruptor negara ini udah punah."
2. FORBIDDEN FRUIT EFFECT: "DILARANG? MAKIN PENGIN!"
Manusia itu hardwired buat penasaran sama hal yang dilarang dan karakter villain, anti-hero, atau bad boy adalah buah terlarang yang paling menggoda. Mereka melanggar norma, punya aura dangerous, dan menawarkan sensasi thrill yang nggak kita dapetin sehari-hari.
Contoh klasik? Dracula. Vampir yang ditampilkan dengan vibes forbidden, sexy, dan morally grey. Kita nggak mau jadi vampir beneran (well, maybe sometimes), tapi ada daya tarik fantasi kebebasan mutlak, nggak ada aturan, nggak ada tanggung jawab membosankan, cuma eternal drama dan gigitan di leher. Di kehidupan nyata? Kita terjebak rutinitas, deadline, dan ekspektasi sosial. Jadi wajar aja kadang kita mikir: "Aduh, jadi mahasiswa capek banget, mending jadi vampir aja sekalian."
3. SISA INSTING PRIMITIF YANG MASIH ADA DI OTAK MODERN KITA
Di zaman primitif, sifat-sifat bad boy seperti berani ambil risiko berarti bisa dapat sumber daya lebih banyak, dominan berarti mampu memimpin kelompok, dan agresif berarti bisa melindungi pasangan. Secara teori evolusi, ini tanda "gen berkualitas" karena menunjukkan kemampuan bertahan hidup. Otak purba kita mungkin pernah mengasosiasikan ini dengan mate value yang tinggi. Di fiksi, kombinasi ini bikin karakter terlihat misterius ("Apa yang dia pikirkan?"), menantang ("Bisa nggak ya aku 'jinakin' dia?"), dan exciting ("Hidup sama dia nggak bakal boring!"). Makanya kita bisa tertarik sama karakter seperti ini, selain karena kita tahu ini cuma cerita, dan drama bad boy itu seru selama bukan hidup kita (hahaha).
4. TANTANGAN DAN FANTASI "AKU BISA MENGUBAHNYA"
Pernah nggak sih ketemu karakter bad boy yang bikin kamu berpikir, "Dia cuma butuh cinta yang tepat aja untuk berubah"? Nah, ini bukan kebetulan, ini adalah fantasi psikologis yang sengaja didesain untuk memikat pembaca.
Dalam cerita, si bad boy selalu hadir dengan aura menantang (tatapan dingin, senyum sinis), sikap misterius (punya rahasia gelap), tapi punya soft spot eksklusif yang hanya terbuka untuk si heroine. Kombinasi inilah yang bikin kita tergoda. Fenomena ini berkaitan dengan kebutuhan untuk merasa spesial ("Hanya aku yang mengerti dia"), tantangan emosional (semakin sulit didapat, semakin memikat), dan fantasi kontrol ("Aku bisa membentuk dia jadi versi terbaik"). Penulis menggunakan trope-trope ampuh seperti The Only Exception (dia jahat ke semua orang, kecuali kamu), momentum perubahan dramatis (adegan dimana dia akhirnya luluh), dan kemasan chemistry (dialog + tension seksual). Ya benar, kamu sedang menikmati fantasi yang dirancang untuk memuaskan keinginan psikologis, bukan panduan hubungan di dunia nyata.
5. PENGARUH BUDAYA DAN BOOKTOK EFFECT: TOXIC TAPI TRENDI
Ketertarikan kita sama karakter-karakter ini nggak lepas dari zeitgeist alias semangat zaman. Lihat aja gimana BookTok mempopulerkan ship-ship toxic-but-sexy, atau gimana villain/anti-hero selalu jadi bahan diskusi seru di media sosial karena sifatnya yang provokatif. Faktor lain? Efek komunitas fans yang kadang memuja karakter tertentu sampai mengabaikan sisi bermasalahnya. Lama-lama, kita yang terpapar konten atau komunitas ini bisa ikut terbawa persepsinya, sesuai dengan Cultivation Theory, teori komunikasi yang bilang kalau terlalu sering lihat sesuatu di media, lama-lama kita mulai menganggapnya wajar. Jadi ya, wajar aja kalau kita ikut penasaran, atau malah tergoda dengan hal-hal yang dijual secara menarik.
6. ROMANTISASI TOKSISITAS
Cerita-cerita ini top markotop banget dalam mengemas perilaku toxic dari para karakter villain, anti-hero dan bad boy jadi sesuatu yang seksi, contohnya lewat enemies to lovers di mana konflik emosional yang melelahkan dianggap chemistry, bukannya red flag, terus "I Can Fix Him" yaitu fantasi mengubah si jahat jadi baik lewat kekuatan cinta (spoiler: irl, this rarely ends well), dan possessive love lewat kalimat kayak "You’re mine" dijual sebagai bukti cinta, bukan kontrol.
Belum lagi fokus cerita yang selalu mengedepankan chemistry ketimbang realitas seperti adegan slow burn bikin deg-degan, dialog dramatis, atau deskripsi perasaan sang karakter yang bikin kita "Wait, this is actually toxic behavior."
7. PUAS TANPA HARUS JADI JAHAT BENERAN
Setiap orang punya bagian kepribadian dan sisi gelap yang ditekan seperti keinginan buat ngasih pelajaran ke orang yang nyebelin, rasa kesal yang dipendam, atau ingin diakui. Tapi karena norma sosial (dan hukum, tentunya), kita nggak bisa main hakim sendiri dan keinginan itu nggak pernah kesampaian. Nah, di sinilah karakter kayak Edmond Dantès (The Count of Monte Cristo) jadi juru bicara fantasi tersembunyi itu. Dihianati? Dipenjara? Balik jadi orang super kaya yang bisa menghancurkan musuh satu per satu dengan kecerdasan dan strategi? Puaskah kita menontonnya? Absolutely. Karena di dunia nyata, kita nggak bisa (dan semoga nggak akan) melakukan hal yang sama. Karakter-karakter seperti ini memberi kita ruang aman buat mengeksplorasi emosi gelap tanpa konsekuensi nyata, dan memungkinkan kita merasakan sensasi melanggar aturan tanpa melakukannya sendiri.
8. DARK TRIAD: ORANG JAHAT JUSTRU TERLIHAT MENARIK?
Pernah nggak sih ketemu orang atau karakter yang clearly toxic, tapi somehow bikin kita tertarik? Bisa jadi itu efek Dark Triad, kombinasi tiga sifat kepribadian yaitu narsisme (percaya diri berlebihan + pesona yang memikat), machiavellianisme (licik, suka memanipulasi, tapi pintar mengendalikan situasi), dan psikopati (berani, charming, tapi emosinya dangkal.)
Orang-orang dengan ciri ini sering punya karisma yang sulit ditolak, mereka tahu cara menjual diri, memengaruhi orang lain, dan terlihat menguasai ruangan. Tapi ya, itu semua biasanya dipakai buat kepentingan egois mereka. Di cerita fiksi, karakter kayak gini sering dibikin sexy karena konfliknya menarik: kita tahu dia bermasalah, tapi somehow kepincut juga.
9. SENJATA ANDALAN OTAK BUAT MEMBELA KARAKTER FAVORIT: "DIA JAHAT TAPI..."
Pernah nggak sih kamu membela karakter yang jelas-jelas bermasalah, tapi tiba-tiba jadi ahli debat tingkat dewa buat membuktikan mereka berhak dicintai? Nah, ini namanya efek disonansi kognitif, kondisi dimana otak kita nggak nyaman saat suka sesuatu yang bertentangan sama keyakinan kita. Alhasil, kita akan mencari pembenaran biar bisa tetep suka tanpa merasa bersalah seperti mencari alasan ("Dia trauma sih") atau membandingkan ("Masih lebih baik daripada musuhnya!"). Hasilnya jadi: "Dia pembunuh sih, tapi lihat cara dia sayang sama ibunya!" atau "Iya dia manipulatif, tapi kan demi cinta!" Nah, kita jadi tahu kan kalau otak kita emang jago banget cari-cari alasan buat mempertahankan kesukaan kita. Jadi lain kali kamu defend villain favoritmu, inget: itu cuma otakmu yang lagi mental gymnastics biar perasaanmu nggak berantem!
10. MENIKMATI CERITA TOXIC TANPA RESIKO
Fiksi tuh kayak taman bermain buat emosi, kita bisa merasakan thrill-nya hubungan toxic tanpa harus merasakan konsekuensinya, kalau bacanya udah nggak nyaman, kita bisa langsung tutup bukunya terus nge-rant di Instagram atau nulis review panjang di storytel. Nggak heran kan kalau banyak yang demen baca dark romance, tapi jelas nggak mau pacaran sama bad boy beneran. Di cerita, kita bisa teriak, "Wih keren banget sih dia!" tapi kalau ketemu orang kayak gitu di dunia nyata? Langsung kabur! Ini karena otak kita paham banget bedanya fiksi dan realita yang satu buat hiburan, yang satu buat dihindari.
11. BACKSTORY YANG BIKIN MEREKA RELATABLE
Karakter jahat atau bermasalah tuh jarang yang begitu tanpa alasan. Biasanya mereka punya masa lalu kelam seperti dikhianati, trauma, atau terjebak sistem yang nggak adil. Kenapa kita bisa relate? Ya karena kita bisa memahami mereka ("Gue juga sih kalau di posisinya mungkin bakal gila"), yang bikin kita ikut mempertanyakan situasi ("Jadi siapa yang salah sebenernya?"), sehingga mereka terlihat lebih manusiawi ("Dia jahat, tapi oh wait, dia cuma manusia juga ya"). Backstory ini bikin kita di satu sisi nggak setuju sama tindakan mereka, tapi di sisi lain kita paham kenapa mereka bisa seperti itu. Jadi wajar aja kalau kita suka, karena mereka lebih manusiawi dan kompleks daripada sekadar penjahat biasa.
12. FLAWED IS THE NEW HUMAN
Karakter yang punya sisi gelap kayak egois, sakit hati, atau moralnya abu-abu justru terasa lebih manusiawi ketimbang protagonis yang terlalu sempurna. Kita semua kan pernah punya momen selfish atau pengen nabok tetangga julid, jadi wajar kalau karakter kayak gini bikin kita mikir, "Waduh, ini kayak gue banget sih!" Mereka adalah cermin diri kita yang jarang kita tunjukkan ke orang lain. Mereka nggak takut menunjukkan kelemahan, mereka bereaksi kayak manusia beneran seperti marah saat dikhianati dan ngambek saat diremehkan, dan kita bisa see ourselves in them bukan di sisi jahatnya, tapi di sisi raw and imperfect-nya. Akhirnya kita kayak "Finally I've found someone who’s as messy as I am inside!"
13. KONFLIK BIKIN CERITA HIDUP
Villain, bad boy dan antihero itu ibarat micin karena mereka yang mengubah cerita biasa menjadi hidangan yang bikin ketagihan. Mereka ini menciptakan stakes (taruhan) yang membuat cerita worth it, memaksa protagonis keluar dari zona nyaman, dan memberikan tujuan jelas pada alur cerita. Contoh: Lagi baca novel romance, terus tiba-tiba si bad boy bikin ulah? Auto langsung penasaran kelanjutannya!
Karakter-karakter bermasalah ini juga tidak hanya bikin konflik eksternal, tapi juga mempertanyakan moral protagonis ("Haruskah aku jadi seperti dia?") dan memperdalam karakterisasi (Hero jadi lebih manusiawi saat berhadapan dengan mereka). Tanpa mereka? Karakter utama jadi flat seperti superhero tanpa musuh berarti. Selain itu villain/antihero modern jarang banget yang hitam-putih. Mereka memperkenalkan pertanyaan filosofis seperti "Apa bedanya balas dendam dengan keadilan?" atau "Kapan kekerasan bisa dibenarkan?", hingga menggoyahkan perspektif pembaca ("Jangan-jangan dia nggak sepenuhnya salah?")
Wajar banget kalau kita marah atau frustasi karena ulah mereka tapi tetap tertarik.
14. KRITIK SOSIAL DI BALIK KARAKTER JAHAT
Karakter jahat yang paling memorable seringkali bukan sekadar "penjahat", mereka adalah produk sistem yang rusak, korban ketidakadilan, atau cermin hipokrisi masyarakat. Inilah yang membuat mereka begitu kompleks dan bikin kita galau: "Apa mereka benar-benar jahat, atau hanya terjebak dalam lingkaran setan yang nggak mereka ciptakan?" Misalnya, perempuan ambisius seperti Cersei Lannister dicap "kejam", padahal jika dia laki-laki, mungkin akan disebut "pemimpin kuat". Atau seperti Rin di Poppy War yang menjadi monster karena sistem perang yang kejam. Karakter-karakter ini juga sering menyoroti masalah nyata seperti keserakahan kapitalisme (June Hayward di Yellowface yang mencuri naskah demi ketenaran) atau romantisasi hubungan toxic dalam dark romance (misalnya, pasangan yang posesif justru dianggap romantis).
Hal yang membuat kita tertarik atau suka pada mereka adalah melalui tokoh-tokoh bermasalah ini, mereka mengajak kita berpikir apakah mereka benar-benar jahat, atau hanya terjebak dalam situasi yang memaksa mereka berbuat buruk, dengan cara yang subtle tapi ngena ketimbang ceramah moral. Kita bisa bilang "Ini cuma cerita kok", tapi diam-diam bikin kita introspeksi.
15. HOT VILLAIN EFFECT: DAYA TARIK VISUAL YANG BIKIN KITA LUPA MORAL
Jujur aja, berapa banyak dari kita yang tetep ngefans sama villain meskipun dia jelas-jahat, cuma karena penampilannya keren? Ini merupakan fenomena saat otak kita terpesona visual sampai lupa nilai moral. Fakta pahitnya adalah karakter jahat sering didesain terlalu menarik sampai kita lupa mereka jahat. Kostumnya aesthetic, gayanya cool, tatapan tajam, dan adegan mereka selalu keren banget, sehingga otak kita langsung auto memisahkan antara "ini visualnya keren" dengan "tapi perbuatannya salah". Makanya nggak heran kalau banyak yang bilang, "Dia emang jahat, tapi style-nya iconic banget!" atau "Dia bunuh orang, tapi tiap hari dia ganti baju, gak kayak tokoh utamanya cuma punya 1 baju aja." atau "Dia manipulator, tapi cara dia ngomong? Chef’s kiss." Ini namanya kuasa visual yang bisa menundukkan logika sejenak, dan kreator kisah-kisah fiksi paham betul cara memanfaatkan ini.
C. TAPI JANGAN LUPA INI SEMUA FIKSI
Suka sama villain yang penuh luka? Ngefans berat sama bad boy penyendiri? Atau malah klepek-klepek sama antihero yang moralnya abu-abu? It's totally okay! Namanya juga fiksi, di sinilah fantasi kita bisa hidup bebas tanpa konsekuensi real. Di dunia cerita, sikap posesif bisa terasa romantis, tatapan dingin bisa bikin penasaran, dan balas dendam bisa terlihat seperti keadilan yang epik.
Tapi warning kecil nih: jangan sampai kebawa ke dunia nyata. Apa yang di buku/film terasa steamy (dibuntuti, dikontrol, atau dijadikan "satu-satunya orang yang penting"), di dunia nyata bisa jadi tanda danger zone. Fiksi sering membungkus sikap toxic jadi terlihat keren, tindakan manipulatif dipasarkan sebagai kecerdasan, sikap posesif dianggap sebagai bukti cinta. Padahal kalau dipikir-pikir, that's not how healthy love works.
Jadi, silakan nikmati ceritanya, baper sepuasnya, bahkan shipping karakter favoritmu. Tapi ingat: cinta yang baik nggak butuh luka atau drama untuk terasa berarti. Dunia nyata butuh komunikasi jujur, saling menghargai, dan yang paling penting, detektor red flag yang selalu nyala.
D. PENUTUP
Kesimpulannya, ngefans sama villain yang kompleks, bad boy yang penuh misteri, atau antihero yang abu-abu moralnya itu wajar banget! Dunia fiksi memang diciptakan untuk membuat kita merasakan berbagai emosi, termasuk tertarik pada karakter-karakter yang nyeleneh. Ada alasan psikologis di balik ketertarikan kita, mulai dari rasa penasaran akan yang terlarang sampai keinginan untuk memahami sisi gelap manusia.
Tapi ingat ya: what happens in fiction stays in fiction. Boleh aja kita menyukai karakter-karakter ini dalam cerita, tapi tetap penting untuk membedakan mana yang pantas diidolakan di dunia nyata dan mana yang lebih baik tetap jadi fantasi.
Nah, sekarang giliran kamu! Kamu ini:
🔺Tim #Villain yang suka antagonis dengan motivasi rumit?
🔺Tim #BadBoy yang demen tokoh bermasalah tapi ada sisi baik hati?
🔺Tim #AntiHero yang suka karakter abu-abu?
🔺Atau mungkin punya favorit lain yang belum kita bahas?
Yuk cerita di kolom komentar, siapa tahu karakter favoritmu bisa jadi bahan diskusi seru berikutnya!
Tetap baper, tetap kritis, dan tetap cinta buku-buku yang bikin deg-degan!