Pernah nggak sih kamu baca buku terus tiba-tiba jadi mikir, "Wah, kok kayaknya hidup aku salah ya?" atau "Kok tokoh perempuannya kayak gini banget sih?" Nah, seperti yang sudah kita ketahui, buku, cerita, dan puisi tuh punya kekuatan super buat mengubah cara kita melihat dunia. Mereka bisa menunjukkan berbagai macam orang dan situasi yang akhirnya bikin kita memikirkan kembali tentang diri kita sendiri dan orang lain.
Nah, kali ini kita bakal ngobrolin gimana sih sastra bisa membentuk pandangan kita tentang gender. Aku terinspirasi dari obrolan antara dua karakter, Rui dan Kazuya, dari buku karya Maru Ayase yang judulnya The Forest Brims Over.
Ketika Penulis Laki-Laki Jadi Dalang Pandangan Gender Kita
Bayangin deh, gimana rasanya kalau pandangan kita tentang laki-laki dan perempuan ternyata banyak dipengaruhi sama cerita-cerita yang ditulis penulis laki-laki? Nah, di buku The Forest Brims Over karya Maru Ayase, hal ini dibahas dengan cara yang bikin kita jadi sadar betapa besarnya pengaruh penulis laki-laki terhadap cara kita memandang gender.
Coba deh kamu inget-inget buku klasik yang pernah kamu baca. Gimana sih karakter perempuannya? Kebanyakan mereka digambarkan sebagai sosok yang pendiam, perhatian, dan hidupnya cuma fokus untuk membuat karakter laki-lakinya bahagia. Kayak mereka cuma exist buat jadi supporting character aja gitu. Ini tuh bahaya banget, soalnya bisa bikin kita jadi berpikir kalau di kehidupan nyata pun, perempuan harus selalu kayak gitu.
Yang lebih parah lagi, kadang-kadang penulis laki-laki menggambarkan karakter perempuan sebagai sosok yang lemah dan pemaaf banget. Meskipun udah disakiti, mereka tetep aja diem dan menerima apa adanya. Jadinya kesan yang tertangkap adalah: "Oh, normal dong kalau perempuan menderita dalam diam dan mendahulukan kebutuhan laki-laki daripada kebutuhannya sendiri."
Nah, di sinilah Rui dan Kazuya mulai ngobrol. Rui sadar kalau dia sudah terlanjur percaya pada ide-ide lama dan nggak realistis tentang perempuan yang ada di buku-buku tanpa dia sadari. Kisah dia buat mempertanyakan ide-ide ini menunjukkan gimana powerful-nya pengaruh cerita dari penulis laki-laki terhadap cara kita memandang sesuatu.
Makanya, penting banget buat para penulis laki-laki untuk menunjukkan semua gender dengan cara yang adil dan realistis. Memang sih, masih ada beberapa cerita yang masih stuck sama stereotip lama, tapi untungnya ada juga yang udah mulai berani break the rules dan menunjukkan pandangan yang lebih balanced tentang gender. Tugas kita sebagai pembaca adalah bisa membedakan mana cerita yang masih melanggengkan ide-ide lama dan mana yang sudah berusaha mengubahnya jadi lebih baik.
Plot Twist: Ternyata Bukan Cuma Penulis Laki-Laki yang Bertanggung Jawab!
Eh, tunggu dulu! Jangan langsung blame penulis laki-laki aja, ya. Rui dan Kazuya juga membahas gimana sebenarnya semua orang yang menulis buku harus bertanggung jawab atas apa yang mereka tunjukkan tentang gender. Kazuya mengingatkan Rui kalau penulis nggak cuma laki-laki doang, tapi banyak orang dengan background yang berbeda-beda.
Meskipun penulis laki-laki memang historically punya peran besar dalam membentuk narasi gender, penulis perempuan juga bisa kok menulis hal-hal yang nggak sesuai sama kenyataan. Surprise, right? Mereka juga manusia yang bisa terjebak sama stereotype atau pressure dari industri penerbitan.
Makanya Kazuya menyarankan Rui buat diversifikasi reading list-nya. Ini bukan cuma soal fairness, tapi juga soal memperkaya perspektif kita. Penulis perempuan punya angle yang beda, pengalaman yang beda, dan cara pandang yang beda tentang gender. Ada yang progresif, ada yang masih konservatif, ada yang rebel, ada yang diplomatic.
Membaca karya dari berbagai penulis tuh kayak ngintip ke berbagai jendela kehidupan. Kita jadi bisa melihat kompleksitas gender dari berbagai sisi yang mungkin nggak pernah kita kepikiran sebelumnya. Terus, kita jadi lebih aware sama bias-bias yang mungkin kita punya.
Intinya, representasi gender yang bermasalah bukan cuma tanggung jawab satu kelompok aja. Semua penulis, regardless of gender, punya peran dalam menciptakan narasi yang lebih fair dan realistic. Dan kita sebagai pembaca punya power buat memilih bacaan yang mendukung worldview yang lebih balanced.
Happy Ending: Buku Sebagai Agent of Change
Oke, sekarang kita udah sampai di bagian paling seru nih! Obrolan Rui dan Kazuya di buku ini tuh bikin kita mikir: gimana sih sebenernya buku bisa membentuk pemikiran kita tentang gender?
Nah, prosesnya tuh gini: waktu kita baca buku, otak kita tanpa sadar menyerap karakter-karakter dan situasi yang ada di dalamnya. Kita mulai melihat pola-pola tertentu kayak perempuan yang selalu nurut, laki-laki yang selalu jadi penyelamat, atau hubungan yang selalu power imbalance. Lama-lama, pola-pola ini jadi kayak "template" di kepala kita buat melihat dunia nyata. Makanya, kalau kita terus-terusan baca buku yang menunjukkan gender dengan cara yang stereotypical, kita jadi unconsciously expect hal yang sama di kehidupan sehari-hari.
Dari pengalaman Rui, kita bisa lihat gimana hal ini bener-bener terjadi. Dia sadar kalau selama ini dia sudah internalize ide-ide tentang perempuan yang sebenarnya nggak realistis, cuma karena dia sering banget menemukan karakter perempuan yang kayak gitu di buku-buku yang dia baca. Yang ditulis penulis laki-laki, khususnya, sering banget menunjukkan perempuan dengan cara yang kurang realistis. Ini bisa bikin kita percaya sama hal-hal tentang perempuan yang sebenernya nggak bener dan bahkan bisa merugikan.
Tapi, jangan pesimis dulu! Buku juga bisa jadi superhero yang membantu mengubah cara kita melihat gender. Rui dan Kazuya membuktikan kalau kita punya agency buat memilih apa yang mau kita konsumsi, dan pilihan itu bisa mengubah cara kita berpikir tentang gender.
Good news-nya, sekarang makin banyak buku yang mengeksplorasi gender dalam berbagai bentuknya. Ada yang mempertanyakan norma-norma tradisional, ada yang menghadirkan karakter dengan kompleksitas yang lebih nyata, ada yang berani mengangkat isu-isu yang tabu. Ini semua adalah langkah ke arah yang lebih progressive.
The Forest Brims Over mengingatkan kita bahwa hubungan antara sastra dan pandangan gender itu dua arah. Buku memang bisa memperkuat stereotype yang nggak fair, tapi mereka juga punya potensi luar biasa buat jadi katalis perubahan.
Aksi Nyata: Jadilah Pembaca yang Lebih Cerdas!
Jadi, apa yang bisa kita lakukan mulai dari sekarang? Pertama, jadilah pembaca yang lebih mindful. Next time kamu baca buku, coba perhatiin:
✅ Gimana karakter laki-laki dan perempuan digambarkan?
✅ Apakah mereka punya agency atau cuma jadi "boneka" cerita?
✅ Apa mereka cuma fulfill stereotype atau punya depth yang nyata?
Kedua, diversifikasi reading list kamu! Jangan cuma baca karya dari satu demografis aja. Explore buku dari penulis dengan berbagai background, gender, dan perspektif. Kamu bakal surprised by richness of perspective yang bisa kamu dapat.
Ketiga, join the conversation! Diskusiin buku yang kamu baca sama temen-temen. Share insight, challenge each other's perspective, dan jangan takut buat mempertanyakan hal-hal yang udah taken for granted.
Remember, sebagai pembaca, kita punya power yang luar biasa. Setiap buku yang kita pilih tuh kayak vote. Kita vote buat jenis narasi yang mau kita dukung. Dengan memilih bacaan yang menghadirkan representasi gender yang lebih fair dan complex, kita nggak cuma memperkaya diri sendiri, tapi juga mendukung industri yang lebih inklusif.
Itulah kekuatan sesungguhnya dari buku: bukan cuma dari cerita yang mereka sampaikan, tapi juga dari percakapan, refleksi, dan perubahan yang mereka inspirasi. So, ready to be a more conscious reader? Let's start today! 📚✨