In a future where the real world is falling apart due to environmental collapse, people find a way to escape by uploading their minds into a virtual world called Gaia. Every Version of You by Grace Chan follows Tao-Yi, a woman living in Australia, who isn’t sure if leaving her physical body behind for a virtual existence is the right move. While most people see this digital world as the future, she hesitates, unsure of what it really means to be human. Before her mother passed away, she made a request that forces Tao-Yi to question everything like memories, identity, and whether a digital life is truly worth living. As she deals with grief, relationships, and the pressure to keep up with a rapidly changing world, she has to make a choice: stay in the real world or surrender to the limitless possibilities of the virtual.
(Bayangkan dunia nyata sedang sekarat gara-gara krisis lingkungan, dan satu-satunya cara kabur adalah dengan mengunggah pikiran kita ke dunia virtual bernama Gaia. Itulah gambaran masa depan di Every Version of You oleh Grace Chan. Buku ini mengikuti kisah Tao-Yi, seorang perempuan yang tinggal di Australia, yang masih ragu apakah meninggalkan tubuh fisiknya demi hidup di dunia digital adalah pilihan yang tepat. Bagi kebanyakan orang, dunia virtual ini adalah harapan, masa depan yang lebih baik. Tapi buat Tao-Yi, ini bukan keputusan yang gampang. Apa sih yang sebenarnya menjadikan kita manusia? Sebelum ibunya meninggal, beliau meninggalkan permintaan yang membuat Tao-Yi harus mempertanyakan segalanya, mulai dari kenangan, identitas, sampai apakah hidup di dunia digital itu benar-benar layak dijalani. Di tengah rasa kehilangan, hubungan yang berubah, dan tekanan untuk terus mengikuti zaman, dia harus memilih: tetap di dunia nyata atau menyerahkan diri pada kemungkinan tanpa batas di dunia virtual.)
BOOK REVIEW
Every Version of You forces us to ask: What actually makes us human? Is it our bodies, our memories, or something deeper? In this world, people can upload their minds into a digital paradise, and leave their physical selves behind. Some see it as freedom, like an escape from illness, aging, and all the limits of being human. Others hesitate, wondering if they’ll lose something essential in the process. And honestly, with how much we already live online through social media, AI, and virtual reality, is this really some far-off future? Or are we already giving up too much of our real lives for the sake of convenience and digital interactions?
Tao-Yi, the main character, faces this choice: fully embrace the digital world or hold on to what’s left of reality. It’s a dilemma that feels familiar, like how easy it is to get lost in scrolling, gaming, or curating an online version of ourselves while real life happens in the background. Just because we can escape and live digitally, does that mean we should? This book doesn’t just ask whether technology improves life, it questions whether avoiding struggle takes away what makes life meaningful in the first place.
But this isn’t just a book about technology. It’s also about grief, change, and the weight of the past. Tao-Yi’s mother leaves her with one last request, which forces her to rethink everything she believes. The world in this book doesn’t end with a single catastrophe, but it slowly erodes, little by little, until one day, there’s almost nothing left to hold on to. Some people adapt without a second thought, while others can’t let go, and that feels eerily close to how fast the world is changing today.
It also makes a strong point about how technology affects relationships and how much control it has over our emotions. In this future, even relationships are optimized by algorithms. Tao-Yi and Navin are supposedly perfect for each other, with a 99.8% compatibility score. But does that really mean anything? Their connection feels hollow, like a relationship that exists because the numbers say it should, not because the feelings are real. It makes us wonder, does an algorithm really know what love is? Are we reducing relationships to data instead of real feelings?
(Every Version of You membuat kita berpikir: apa sih yang sebenarnya yang menjadikan kita manusia? Apakah tubuh kita? Kenangan kita? Atau ada sesuatu yang lebih dalam? Di dunia ini, orang bisa mengunggah pikirannya ke dunia digital dan meninggalkan tubuh fisiknya selamanya. Buat sebagian orang, ini adalah kebebasan, cara buat kabur dari penyakit, penuaan, dan segala keterbatasan manusia. Tapi ada juga yang ragu, takut kehilangan sesuatu yang penting dalam prosesnya. Dan jujur saja, kalau kita lihat bagaimana sekarang hidup kita sudah setengah digital, dari media sosial, AI, sampai VR, apa ini benar-benar masa depan yang jauh? Atau kita sebenarnya sudah mulai menyerahkan terlalu banyak dari kehidupan nyata demi kenyamanan dan interaksi digital?
Tao-Yi, tokoh utamanya, ada di persimpangan ini: sepenuhnya masuk ke dunia digital atau bertahan di sisa-sisa realitas. Dilemanya berasa relatable, kayak bagaimana gampangnya kita tenggelam dalam scrolling tanpa henti, main game, atau menciptakan versi online diri kita sendiri, sementara kehidupan nyata berjalan sebagai latar belakang. Hanya karena kita bisa kabur dan hidup di dunia digital, apa itu berarti kita harus? Buku ini tidak cuma bertanya apakah teknologi membuat hidup lebih baik, tapi juga apakah menghindari kesulitan justru membuat hidup kehilangan maknanya.
Tapi ini bukan cuma soal teknologi. Buku ini juga tentang kehilangan, perubahan, dan beban masa lalu. Sebelum ibunya meninggal, dia meninggalkan satu permintaan terakhir yang membuat Tao-Yi mempertanyakan segalanya. Dunia di buku ini tidak runtuh karena satu bencana besar, tapi perlahan-lahan terkikis, sedikit demi sedikit, sampai suatu hari, hampir tidak ada yang tersisa. Ada yang bisa beradaptasi tanpa pikir panjang, ada juga yang tidak bisa melepaskan, dan jujur, ini terasa seperti dunia kita sekarang yang berubah gila-gilaan dalam waktu singkat.
Buku ini juga menyentuh soal hubungan manusia dan bagaimana teknologi mulai mengontrol emosi kita. Di masa depan ini, bahkan hubungan romantis pun diatur sama algoritma. Tao-Yi dan Navin katanya pasangan yang sempurna, punya skor kecocokan 99,8%. Tapi, apa itu benar-benar berarti mereka cocok? Hubungan mereka terasa hampa, seperti sesuatu yang dipaksakan karena angka bilang begitu, bukan karena perasaan yang nyata. Jadi, apakah algoritma benar-benar mengerti apa itu cinta? Atau kita tanpa sadar sedang mereduksi hubungan menjadi sekadar data, bukan perasaan?)
THE FAVORITES
■The idea of uploading consciousness into a digital world is super interesting, but this book goes beyond the sci-fi concept and digs into the deeper, messier questions which are not just about the technology itself, but also the emotional and philosophical dilemmas that come with it: If you leave your body behind, are you still you? Do memories, emotions, and relationships still mean the same thing when they exist in a world made of code? This story doesn’t give answers, but it definitely makes us reflect on how much technology should shape our future.
■Most sci-fi books I’ve read come from the US or UK, so it was refreshing to see a future imagined from an Australian perspective. This book doesn’t just drop high-tech cities and dystopian ruins into the landscape, it actually considers what a changing world might look like in Australia’s unique setting, which isn’t something we often see in mainstream sci-fi. On top of that, it explores Asian-Australian identity in a way that feels real, touching on migration, cultural disconnect, and the struggle to belong.
(■ Ide tentang mengunggah kesadaran ke dunia digital tuh sangat menarik, tapi buku ini tidak cuma berhenti di konsep sci-fi. Dia masuk lebih dalam ke pertanyaan-pertanyaan yang jauh lebih rumit, bukan cuma soal teknologinya, tapi juga dilema emosional dan filosofis di baliknya. Kalau kita meninggalkan tubuh kita, apa kita masih bisa dibilang diri kita yang sama? Apa kenangan, perasaan, dan hubungan masih punya makna yang sama kalau semuanya cuma ada dalam bentuk kode? Buku ini tidak memberikan jawaban pasti, tapi jelas membuat kita kepikiran sejauh mana teknologi seharusnya membentuk masa depan kita.
■ Kebanyakan buku sci-fi yang pernah aku baca berasal dari AS atau Inggris, jadi seru banget melihat bayangan masa depan dari sudut pandang Australia. Buku ini tidak cuma asal tempel kota futuristik atau reruntuhan distopia ke latarnya, tapi benar-benar memikirkan seperti apa dunia yang berubah di lingkungan Australia, sesuatu yang jarang kita lihat di sci-fi kebanyakan. Selain itu, ada juga eksplorasi identitas Asia-Australia yang terasa nyata, seperti tentang migrasi, keterputusan budaya, dan perjalanan mencari tempat yang cocok.)
THE DRAWBACKS
■ I struggled to connect with Tao-Yi because this book doesn’t really show her emotions clearly from start to finish. Even when she makes a huge decision to follow her mother’s request, it feels more like something she has to do rather than something we truly understand. It’s supposed to be about honoring her mother’s wishes, but her emotional journey isn’t explored enough to make it as powerful as it could be.
■ This book introduces some really interesting ideas like uploading consciousness, environmental collapse, and cultural identity, but it doesn’t go deep enough into them. It briefly touches on topics like classism and privilege, but they mostly stay in the background instead of shaping the characters or the plot. It feels like the book wants to say something big, but it never fully commits.
■ This book is more of a slow, introspective sci-fi rather than a fast-paced, action-driven one. That’s not necessarily a bad thing, but at times, it felt like I was waiting for something big to happen, and it never really did. This story just moved along without much urgency, and the ending didn’t give a strong sense of closure. If you prefer stories with a clear direction and big plot developments, this one might feel a bit unsatisfying.
■ Australia in this book is collapsing environmentally, but at the same time, virtual reality is advancing at an unbelievable speed. The contrast felt strange. While I get that different parts of society can evolve at different rates, this book doesn’t really explain how this imbalance happens or what the consequences are.
■ This book throws a lot of futuristic slang, tech terms, and new gadgets at you, but it doesn’t always explain them well. Instead of making the world feel immersive, they sometimes just made things confusing. The mix of languages might have been meant to show a globalized future, but it didn’t always fit smoothly into the story, it felt more like a distraction than a meaningful detail.
(■ Aku agak kesulitan memahami Tao-Yi karena sepanjang cerita, emosinya tidak benar-benar terasa jelas. Bahkan saat dia mengambil keputusan besar untuk mengikuti permintaan ibunya, rasanya lebih seperti sesuatu yang harus dia lakukan daripada sesuatu yang benar-benar kita pahami. Seharusnya ini jadi momen emosional tentang menghormati keinginan terakhir ibunya, tapi perjalanannya kurang digali cukup dalam untuk membuat dampaknya terasa kuat.
■ Buku ini sebenarnya punya banyak ide menarik, dari konsep unggah kesadaran, kehancuran lingkungan, sampai identitas budaya. Tapi sayangnya, semuanya cuma disentuh di permukaan. Ada juga isu tentang kelas sosial dan privilese yang sempat muncul, tapi mereka lebih jadi latar daripada benar-benar membentuk karakter atau alur cerita. Sepertinya buku ini ingin membahas sesuatu yang besar, tapi tidak sepenuhnya menggali sampai tuntas.
■ Ini tipe sci-fi yang lebih lambat dan reflektif, bukan yang penuh aksi atau kejutan besar. Bukan berarti buku ini jelek ya, tapi kadang rasanya seperti menunggu sesuatu yang besar terjadi,ndan ternyata nggak pernah terjadi. Ceritanya terus berjalan dengan ritme yang datar, dan di akhir, rasanya kurang ada penutup yang kuat. Kalau kamu lebih suka cerita dengan arah yang jelas dan perkembangan plot yang besar, buku ini mungkin bakal terasa kurang memuaskan.
■ Di buku ini, Australia sedang hancur secara lingkungan, tapi di saat yang sama, teknologi realitas virtual berkembang dengan kecepatan gila-gilaan. Kontrasnya agak aneh. Oke, perkembangan di berbagai aspek kehidupan bisa jalan dengan kecepatan yang berbeda, tapi buku ini nggak benar-benar menjelaskan kenapa bisa ada ketimpangan sebesar itu atau apa dampaknya.
■ Ada banyak istilah teknologi, bahasa gaul futuristik, dan gadget baru yang dilempar ke pembaca, tapi nggak semuanya dijelaskan dengan baik. Bukannya bikin dunia terasa lebih imersif, kadang malah bikin bingung. Campuran berbagai bahasa mungkin dimaksudkan untuk menciptakan kesan dunia yang makin global, tapi di beberapa bagian rasanya lebih kayak gangguan daripada detail yang cocok dengan cerita.)
CONCLUSION
Every Version of You presents an interesting but unsettling version of the future, where the boundary between real life and the digital world is nearly gone. It brings up questions about identity, relationships, and how technology might change what it means to be human. The concept is unique, and I like the fresh cultural perspective, but the way the story is told feels a bit distant. Some themes could have been explored more deeply, and the use of so many unfamiliar terms made it harder to get into. This book isn’t a fast-paced sci-fi with lots of action, but it’s more of a slow, reflective read. If you like books that leave you with more questions than answers and make you rethink the future, this one might be worth exploring.
(Every Version of You memberikan gambaran masa depan yang menarik tapi juga agak bikin nggak nyaman, di mana batas antara kehidupan nyata dan dunia digital hampir sepenuhnya hilang. Buku ini mengajak kita berpikir tentang identitas, hubungan, dan bagaimana teknologi bisa mengubah makna jadi manusia. Konsepnya unik, dan aku suka sudut pandang budayanya yang fresh, tapi cara ceritanya disampaikan terasa agak jauh, jadi susah untuk relate dan memahaminya. Beberapa tema juga kayaknya bisa digali lebih dalam, dan banyaknya istilah yang nggak familiar bikin buku ini agak sulit buat langsung menyelam ke dalam ceritanya. Ini bukan tipe sci-fi yang penuh aksi atau cepat alurnya, tapi lebih ke cerita yang slow dan reflektif. Kalau kamu suka buku yang bikin mikir, lebih banyak memberikan pertanyaan daripada jawaban, dan bikin kamu mempertanyakan masa depan, mungkin buku ini bisa jadi bacaan yang menarik buat dicoba.)