Kali ini karena temanya menderitakan
profesi, maka aku bakal ceritakan pekerjaan tetap yang mengharuskanku berangkat
pagi tiap hari. Sudah lebih dari 7 tahun aku menjadi mbak-mbak desainer yang
kerjaannya tentu saja bikin desain berbagai media yang bisa didesain dan juga
menerima revisian yang biasanya lebih panjang dari waktu membuat desainnya. Selama
hampir 1 dekade ini, mungkin yang kalian bayangkan adalah aku jenis mbak-mbak
keren dengan rambut pink, baju warna-warni dan bisa membuat desain baliho
konser dengan merem aja. Tentu saja tidak. At least untuk saat ini. Siapa tahu
tahun depan rambutku pink, hahaha.
Banyak banget hal-hal yang masih
tidak aku kuasai dan harus aku pelajari. Namun dari sekian tahun melakukan
pekerjaan yang sama, aku juga belajar beberapa hal yaitu :
Jenis kertas, tinta, ukuran dan medium untuk mengaplikasikan desain
Di masa sekolah atau kuliah, aku
sama sekali gak tau bedanya jenis dan ukuran kertas kecuali A4 dan Folio, itu
pun bakal bingung kalau disuruh milih jenis kertas di Microsoft Word. Ukuran
kertas legal itu bukan F4 atau Folio, jadi kalau kamu setting dokumen kamu
pakai legal yang panjangnya 36 cm, kemudian kamu cetak pakai folio, bakal ada
yang kepotong. Karena kamu harus define sendiri ukuran folionya. Selain ukuran,
jenis kertas mulai dari HVS yang 65-70-75-80-100 GSM, kertas foto dengan
berbagai ketebalan, art paper, hingga kertas yang aku gak tau eksistensinya di
dunia kayak jasmine dan concorde, semuanya aku pelajari waktu kerja. Di masa
sekolah, belajar jenis dan ukuran kertas gak ada di silabus.
Selera tiap orang berbeda
Sebagai desainer tentunya sudah
punya standar cantik tersendiri ya. Namun, jika klien mintanya berbeda, kita
harus ikutan meski menurut kita hasilnya kok gini banget sih – gak ada estetik
estetiknya. Ya menurut kamu mungkin gak estetik dan mungkin terlihat norak,
tapi bagi seseorang desain yang seperti itu menimbulkan kesan tertentu yang dia
sukai sehingga memilihnya. Jadi selama ini aku belajar buat menghargai kesukaan
orang. Kalau kalian lihat blogku di era awal kemunculan blog ini, mungkin aku
masih punya rules dan the do(s) and don’t (s), tapi karena profesi desainer ini
aku belajar buat melupakan peraturan dan standar baik buruk, because I know
nothing about the other people and their preferences. Mungkin aku hanya mengingatkan,
kalau sebuah foto ditarik tidak sesuai proporsi, bakal jadi kelihatan beda dari
foto aslinya. Itu aja. Selebihnya suka-suka yang pesan desain. Kayak ada nih
satu orang yang desain macam apapun bagus pokoknya warnanya ijo (ini jenis
orang yang desainnya paling cepet selesai, hahaha), atau ada orang yang
bener-bener pasrah pada desainernya dengan wasiat asal tulisannya gede-gede
biar keliatan dari jauh dan ada juga orang yang susah banget mengungkapkan
keinginannya dalam kata-kata tapi beberapa alternatif desain ditolak semua.
Tetap fokus atau hentikan saja
Kadang multitasking menguntungkan,
tapi dalam hal yang lain juga menyebabkan kesalahan. Misalnya nih waktu
sibuk-sibuknya, ada dateng banyak email dan telpon berkaitan dengan desain dan
prototype dan sejenisnya, waktu itu aku lagi kirim email untuk cetak desain
majalah, tentu saja karena gak fokus jadi salah ketik. Jadi, daripada menerima
telpon sambil mengetik email, mending hentikan mengetik email dulu lalu
menerima telepon.
Manusia berbeda dengan komputer
Dulu waktu kuliah ada mata kuliah
Interaksi Manusia dan Komputer dan juga Logika Pemrograman, intinya sih
(seingetku) untuk memahami komputer, logika yang digunakan, dan cara
berkomunikasi dengan komputer biar nyambung gitu lah ya. Nah, karena aku kayaknya
sudah nyaman berinteraksi dengan komputer dan sempet freelance yang juga
berurusan dengan komputer, aku kayak lupa gimana berinteraksi dengan manusia. Jadi
waktu masuk kerja pertama kali, bener-bener masuk kantor dan berkonsultasi
desain dengan klien tuh kayak sebuah culture shock. Ya shock karena manusia kok
banyak maunya dan gak kayak komputer, yang dikasih perintah ini langsung jalan
(kecuali kamu typo ngetik perintahnya) dan gak pake nawar. Misalnya kamu mau
ngeprint 100 lembar, si komputer gak munculin kotak pesan : gak ngeprint 50 aja
nih say? Kan aku kemarin udah kerja rodi 1000 lembar. Bener-bener nih masuk
kerja mengingatkanku kembali kalau masih ada manusia lain yang hidup di bumi
selain aku dan orang-orang di sekitarku, yang ternyata berwarna-warni cara
ngomong, cara mengekspresikan wajah sampai cara jalannya.
Kayaknya lebih enak bikin desain digital deh
Karena selama ini aku mendesain
menggunakan komputer, aku jadi kayak balik SD lagi kalau disuruh nggambar di
kertas, bingung mau nggambar apa dan darimana dulu. Kalau di komputer kan,
bebas bisa nggambar di sudut manapun, tinggal seleksi obyek dan geser-geser. Kalau
gambar di kertas ga ada fitur geser-geser dan undo nya. Hahaha. Makanya aku
juga bikin channel gambar-gambar di bullet journal biar at least sebulan sekali
aku nggambar sesuatu di kertas beneran (yah, meski sekarang channelnya lagi
libur karena lagi excited baca-baca buku dan ikut challenge BPN).
Bikin shortcut sendiri
Seingetku waktu belajar software ini
itu di sekolah dan kampus, aku gak belajar soal bikin shortcut sendiri. Hanya waktu
pemrograman, kita kayak bikin rumus sendiri yang nantinya digunakan program
untuk mengerjakan pekerjaan tertentu misalnya hitungan atau memberi warna pada
kotak-kotak yang sama di tempat yang berbeda yang jumlahnya banyak. Nah, waktu
masuk kerja, aku baru tahu kita bisa bikin shortcut sendiri selain Ctrl+C dan
Ctrl+V, kayak misalnya jadiin foto ke grayscale tinggal pencet F, atau ngeluarin
crop tool pake O, dan lain sebagainya.
Belajar whatsapp business
Ini sih karena awalnya aku males
ngetik nomor whatsapp kerjaan tiap kali ditanyain. Aku Cuma pengen bagiin
barcode aja biar discan orang langsung. Nah, karena waktu itu whatsappku ga ada
fitur bikin barcode, dan hanya ada di whatsapp business, maka aku jadi pakai
whatsapp business untuk kerjaan. Selain bisa bikin barcode juga bikin pesan
otomatis di luar jam kerja, biar klien yang gak paham kapan kita tutup tuh jadi
gak bingung kalau pesannya gak kunjung dibales di tengah malem atau di hari
Minggu.
Belajar pakai canva
Karena aku sempet kebagian kerjaan
ngisi instagram kantor, maka aku bikin desainnya sendiri, terus ada desainer
lain bilang pakai canva aja lebih cepet. Sejak saat itu kalau disuruh bikin
konten instagram, aku pakai canva, hahaha. Kalau gak kerja kayak gini mungkin
aku ga pernah nyoba pakai canva ya.
Jadi suka audiobook
Waktu kerja kadang bosen ya, tapi
membaca buku fisik di tengah jam kerja kadang kelihatan kayak kurang kerjaan
dan ujung-ujungnya ditambahin kerjaan. Di saat seperti ini aku dengerin
audiobook sambil ngerjain kerjaan ringan kayak natain pas foto para murid yang
mau dicetak, yang kalau dikerjain beberapa waktu bakal kayak otomatis sendiri
dan gak bakal salah. Aku yang dulu kayak merasa takut dengerin audiobook karena
berpedoman apapun yang gak bisa aku lihat tuh adalah sesuatu yang gak bisa aku
bayangin, sekarang jadi suka dengerin audiobook. Memang ada narator yang cara
ngomongnya rada ga jelas kalau buat kuping kuping non native English speaker,
jadi aku sebisa mungkin kalau pas di kantor tuh dengerin narrator wanita yang
suaranya lebih tinggi dan gak kayak bapak-bapak di ujian listening bahasa
Inggris jaman sekolah. Maapken kuping saya ya pak.
Nah, itu tadi beberapa hal yang aku
pelajari selama menjadi desainer selama kurang lebih 7 tahun. Ini. Gimana dengan
kalian?
0 Comments
don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!
Note: only a member of this blog may post a comment.