Sorcery of Thorns by Margaret Rogerson | Book Review

 

sorcery of thorns book review

It’s been awhile since I read YA Fantasy and I think I want to read one but I don’t want to commit on reading series. Sorcery of Thorns is one of YA fantasy in standalone which is available in both audiobook and e-book formats in Storytel. I decided to read the e-book format since the audiobook doesn’t have chapter markers. This book becomes my first five star read on June, so I want to share my thoughts about this book here.

(Kayaknya udah lama aku gak bawa YA fantasy dan rasanya aku pengen baca satu aja yang enggak termasuk dalam series. Ketemulah buku Sorcery of Thorns ini yang merupakan standalone dan tersedia dalam format audiobook dan e-book di Storytel. Aku memutuskan untuk baca yang format e-book karena yang audiobook gak mau muncul penanda babnya, somehow. Buku ini pun jadi buku yang dapat bintang lima pertama di bulan Juni, jadi aku pengen share kesan dan pendapat aku tentang buku ini di sini)


Sorcery of Thorns by Margaret Rogerson | Book Review

Length                              : 465 pages

Date released                    : June 4, 2019

Date read                           : June 5 – 12, 2022

Goodreads rating               : 4,08

My rating                           : 5.00

Keywords                           : Young Adult, Fantasy, Magic, Romance, Sorcerer, Demon, Library,

           Grimoire, Friendship, Adventure, Enemies to Lovers

Trigger Warning                 : death, grief, blood, panic attack, self-harm

Where to read                      : Storytel

 My review video                : Sorcery of Thorns - Book Talk (it's in Indonesian, but it has English CC)

                                              June 2022 Reading Journal Wrap-Up (of course it's in English)


Blurb :

“All sorcerers are evil. Elisabeth has known that as long as she has known anything. Raised as a foundling in one of Austermeer’s Great Libraries, Elisabeth has grown up among the tools of sorcery—magical grimoires that whisper on shelves and rattle beneath iron chains. If provoked, they transform into grotesque monsters of ink and leather. She hopes to become a warden, charged with protecting the kingdom from their power.

Then an act of sabotage releases the library’s most dangerous grimoire. Elisabeth’s desperate intervention implicates her in the crime, and she is torn from her home to face justice in the capital. With no one to turn to but her sworn enemy, the sorcerer Nathaniel Thorn, and his mysterious demonic servant, she finds herself entangled in a centuries-old conspiracy. Not only could the Great Libraries go up in flames, but the world along with them.

As her alliance with Nathaniel grows stronger, Elisabeth starts to question everything she’s been taught—about sorcerers, about the libraries she loves, even about herself. For Elisabeth has a power she has never guessed, and a future she could never have imagined.” (Goodreads)

 

My Thoughts :

I thought I would never find another book crush after Keefe Sencen from Keeper of the Lost Cities series, but I was wrong. This emerald guy named Nathaniel Thorn has torn that opinion into pieces. Did it rhyme? Forget my decent humor sense.

(Kupikir aku gak bakal nemu book crush selain Keefe Sencen dari seri Keeper of the Lost Cities, tapi ternyata aku salah. Pemuda bernama Nathaniel Thorn ini sudah menghancurkan pikiran itu jadi berkeping-keping. Kalau baca bahasa Inggrisnya, bakal ngerhyme deh, baca bahasa Inggrisnya aja ya buat paragraf ini, hahaha)

 

I love this book! This book has everything I want to read or I love reading from a book. The plot, the characters, the representations, the whimsical vibes, the revelation, the beautiful writing, the libraries and every element in this book have successfully stolen my heart. So now I don't have any. My thoughts about Sorcery of Thorns in this blog post will only revolve on why I like this book. If you are like me or having similar taste with me, you might like reading this book. So, if you have read this book and you don’t like it, you can leave this blog post right now or you can share why you don't like it. It's interesting to know other people's opinions about a book.

(Aku suka buku ini! Buku ini punya semua hal yang pengen aku baca dari sebuah buku. Alur ceritanya, karakternya, representasinya, whimsical vibenya, pengungkapannya, gaya penulisan yang indah, perpustakaannya dan setiap elemen di dalam buku ini sudah sukses mencuri hatiku. Jadi sekarang aku udah gak punya hati. Tentu saja pendapatku mengenai buku Sorcery of Thorns di blog post ini bakal seputar kenapa aku suka bukunya. Kalau kamu kayak aku atau punya taste yang mirip-mirip sama aku, kamu mungkin suka juga buku ini deh. Jadi kalau kamu sudah pernah baca buku ini dan gak suka, kamu boleh tutup halaman ini atau kamu bisa share kenapa kamu gak suka buku ini. Buat aku cukup menarik sih untuk tahu pendapat orang lain mengenai sebuah buku).

 

8 REASONS I LIKE SORCERY OF THORNS BY MARGARET ROGERSON

1. The characters. We have 3 characters in this book who work together in order to defeat the evil power in Austermeer which are Elisabeth, Nathaniel Thorn (sorcerer) and Silas (demon). I love how different characters from different background coming together, creating unique and balanced relationship to be told in this book. The narration has such power to make me sympathize with these 3 people and want them to be happy together after the “war”. I also love how the source of Elisabeth’s power and identity are told and revealed throughout the book. Elisabeth is an orphan, growing up in a library and possesses way more physical power than average people. She is smart and doesn’t make decision impulsively. Then there is Nathaniel, a famous sorcerer with so many fans, he has handsome face and cool attitude, which are only the cover to hide his grief, loneliness and pain for years. Next is Silas, a demon whose dazzling appearance in human disguise and cute one in white cat disguise. Silas is always honest with who he really is, his intention as demon and always reminds Elisabeth that he can’t be trusted because in the end he will kill them all)

(1. Karakter. Di buku ini ada 3 karakter yang bekerja sama dalam mengakhiri kejahatan di Austermeer yaitu Elisabeth, Nathaniel Thorn (sorcerer) dan Silas (demon). Aku suka bagaimana karakter dengan jenis kekuatan dan latar belakang berbeda ini berkumpul jadi satu, menciptakan hubungan yang unik dan seimbang porsinya untuk diceritakan ke dalam sebuah buku. Narasinya juga punya kekuatan yang cukup membuat aku bersimpati sama ketiga orang ini dan pengen mereka bertiga tuh terus barengan setelah pertempuran. Aku suka gimana asal mula kekuatan Elisabeth dan identitasnya diceritakan dan diungkapkan sepanjang buku ini. Elisabeth adalah seorang yatim piatu yang tumbuh di perpustakaan dan memiliki kekuatan fisik melebihi orang-orang pada umumnya. Elisabeth ini juga pintar dan gak grusa-grusu mengambil keputusan. Kemudian ada Nathaniel yang seorang sorcerer yang cukup terkenal dan punya banyak fans, karena memang Nathaniel ini punya penampilan keren dan cool, yang ternyata semuanya itu hanyalah cover untuk yang menutupi semua duka, kesepian, dan kesedihannya selama bertahun-tahun. Lalu yang ketiga ada Silas, seorang demon yang punya wujud rupawan dalam bentuk manusia dan juga wujud menggemaskan dalam bentuk kucing putih. Silas ini selalu jujur mengenai identitas dirinya dan gak segan-segan mengingatkan Elisabeth mengenai siapa dirinya dan apa tujuannya yang sebenarnya sebagai demon yang membuatnya tidak bisa dipercaya karena pada akhirnya dia akan membunuh semuanya.)


sorcery of thorns quote


2. The back and forth and the failures and the plans. The battle part didn’t turn out to be the revelation scene for Elisabeth to know the source of her power nor who she really was – beyond my expectation, this part is used to show you how cool and strong the relationship among these 3 people. I used to read manga or watch anime where the main character with cool ability turned out to be the descendant of someone powerful and famous for their power (which is something I expected from this book – I thought Elisabeth is the lost Thorn family member, because of the book title), but it didn’t, which makes me adore Margaret Rogerson as the author. I’m not trying to say that being a main character who is a descendant of someone powerful is a bad thing, no. That’s equally cool, because being someone from a powerful family doesn’t automatically make your life problem-free. This book is really cool because I didn’t expect it to be like this. So if she is not descendant of SOMEONE, then how she got that immense power? You have to read this book!

(2. Bolak-balik kesana kemari, kekalahan dan rencana. Part pertarungan di buku ini juga ternyata bukan untuk mengungkapkan asal mula kekuatan Elisabeth dan siapa dirinya yang sebenarnya – malah menunjukkan gimana kerennya relationship antara ketiga tokoh ini. Biasanya kalau aku nonton anime atau baca manga kan si tokoh utama ini punya kekuatan gak biasa karena dia keturunan siapa gitu yang powerful enough dan sangat terkenal di masa lalu (which is something I expected from this book – I thought Elisabeth is the lost Thorn family member lho, soalnya judulnya kan begitu ya), ternyata enggak, dan ini membuatku kagum sama Margaret Rogerson sebagai penulisnya. Aku gak bilang kalau jadi tokoh utama dengan garis keturunan yang powerful itu gak keren ya. Sama-sama keren kok, karena sometimes jadi keturunan orang keren gak menjamin hidupmu mulus-mulus aja. Khusus buku ini, menurutku keren banget karena gak nyangka aja gitu bakal gini. Lalu kalau dia bukan keturunan orang kuat, kok bisa jadi sekuat itu? Penasaran? Baca aja bukunya)

 

3. The setting. This book took place in Austermeer, where grimoires could talk and had the ability to be monsters, and there are sorcerers who were respected (scared of – seen as evil – depends on which part of Austermeer) by the society. In this world we can make a bargain with demon which has its own side effect to us, and demons has their own classes from the lowest to the highest. The time setting is around 1600-1700-ish so there were no cars, phones or internet there. In this book we will have short adventure in different libraries with Elisabeth, which had different building and collections from each other. For someone like me who loves reading a book with library setting, I’m so happy to find Sorcery of Thorns, because it puts library as a source of power and danger at the same time.

(3. Setting. Buku ini mengambil setting di Austermeer, di mana grimoire bisa bicara dan punya kemampuan menjadi monster, serta ada golongan sorcerer yang dihormati (dan ditakuti – dan dianggap jahat, tergantung di bagian Austermeer yang mana) oleh orang-orang pada umumnya. Di dunia ini kita juga bisa bikin perjanjian dengan demon yang tentu saja ada side effectnya, dan demon itu sendiri punya kelas-kelas yang berbeda, ada yang kelas rendah hingga yang paling tinggi. Setting tahunnya sekitar 1600-1700an sehingga belum ada teknologi seperti mobil, ponsel, dan internet. Di sini kita bakal banyak ketemu sama beberapa perpustakaan yang dikunjungi Elisabeth yang berbeda satu sama lain baik dari bentuk bangunan dan koleksi grimoire di dalamnya. Buat aku yang suka baca buku yang ada setting perpustakaan dan buku-buku, rasanya seneng banget bisa ketemu satu buku fantasi yang menjadikan perpustakaan sebagai sumber kekuatan sekaligus sumber bahaya bagi dunia)

 

4. The evil side. This book shows you that the evil or people who bear the greatest threat are not those with scary appearances or those with label ‘demon’ or ‘sorcerer’, because labels don’t determine who you are and not everyone are the same even though they are under the same label.

(4.Bagian Jahatnya. Buku ini nunjukin ke pembaca kalau yang jahat atau orang-orang yang membawa ancaman bahaya bukan selalu orang-orang dengan penampilan seram atau golongan yang disebut “demon” atau “sorcerer” karena label gak menentukan siapa kamu sesungguhnya dan gak semua orang itu sama meski berada di bawah label yang sama.)

 

5. The romance. This book has the right amount of romance for me. I don’t like a fantasy book with too much romance which might defy them for their plans or makes them forget to beat the enemy. Shortly, I only want the characters to focus on their goals, if the romance part is not their priority, then it doesn’t need to take more pages of the book. I think there are books like that which might be my favorites in the future, who knows. If that happens, I’ll make the review here too)

(5. Romance. Buku ini punya porsi romance yang pas buat aku. Aku gak begitu suka buku fantasi yang romancenya kebanyakan (jadi kayaknya aku gak cocok baca buku romance ya) yang bikin si tokoh utama melenceng dari tujuan awal atau bikin mereka lupa buat ngalahin musuh. Singkatnya, aku pengen karakter di buku ini fokus ke tujuan mereka. Jika romance bukan termasuk dalam prioritas, maka bagian itu gak perlu makan terlalu banyak halaman dalam buku. Tapi mungkin ada buku yang kayak gitu dan mungkin aku suka di masa depan, let’s see. Ntar aku bikin reviewnya juga di sini)

 

6. The magic. The power to do sorcery stuff is only possessed by sorcerers, of course, and the narration about magic system in this is easy to understand since it’s introduced one by one. Uniquely, each House (or family) of sorcerer has different color for their magic power, such as emerald green for House Thorn, and gold for House Ashcroft. Their magic is not only present when they’re conscious but also during coma and sleeping. Like when Nathaniel was in coma, snow fell earlier than it should be. Beside the sorcerer’s individual power, their houses also have cool ability which activates when the house master is in danger. House Thorn will activate the statues to guard the house and grow the plants with thorns to cover the house when Nathaniel was in coma. Not only houses, the magic power is also possessed by grimoires which are saved in the libraries (some of them are shelved in special room which can’t visited by public).

(6. Magic. Kekuatan untuk melakukan kegiatan sorcery hanya dimiliki oleh sorcerer, tentu saja, dan penjelasan mengenai hal ini cukup mudah dipahami karena diperkenalkan secara bertahap. Uniknya tiap House (atau keluarga) punya warna yang berbeda buat kekuatan yang mereka miliki, kayak House Thorn warnanya hijau emerald, dan House Ashcroft warnanya emas. Kekuatan mereka juga gak hanya bisa mereka gunakan waktu sadar, namun waktu gak sadar seperti waktu koma dan tidur, kekuatan sorcerer ini punya pengaruh terhadap lingkungan di sekitarnya. Kayak waktu Nathaniel koma, di Austermeer turun salju sebelum waktunya. Selain kekuatan dari diri seorang sorcerer, kekuatan yang unik juga dimilki oleh rumah mereka, yang bakal aktif terutama saat pemilik rumah tersebut berada dalam bahaya. House Thorn bakal mengaktifkan patung-patung buat melindungi rumah dan menutupi permukaannya dengan tanaman berduri selama pemiliknya dalam masa koma. Selain rumah, kekuatan juga tentu saja dimiliki oleh para grimoire yang disimpan dalam perpustakaan (bahkan  ada yang disimpan dalam ruangan khusus yang gak bisa dikunjungi orang sembarangan).

 

7. The friendship. Not only Elisabeth’s relationship with other librarians, but also with sorcerers, demons and grimoires which makes me continue reading this book until the middle of the night. I think even though she didn’t possess any magic and couldn’t perform sorcery, the power that comes from this friendship is something that helps her in the fight.

(7. Friendship. Tidak hanya hubungan Elisabeth dengan petugas perpustakaan, namun juga dengan sorcerer, demon dan grimoire yang bikin aku terus baca buku ini hingga larut malam. Menurutku meski Elisabeth gak punya magic dan gak bisa pakai mantra apapun, kekuatan yang muncul dari persahabatan inilah yang membantunya dalam pertempuran.)

 

8. The ending. I love the ending! And I felt something is missing from me when I finished this book, so I couldn’t pick the next book immediately.

(8. Ending. Aku suka endingnya. Dan aku merasa ada yang hilang pas aku udah selesai baca buku ini jadi aku gak bisa langsung baca buku selanjutnya)

sorcery of thorns short review
you can find this picture as part of my June 2022 reading thread

 

This book taught you that in order to know the truth, we have to learn the false too. in order to defeat the evil, we have to learn about them. We can’t close ourselves completely from the knowledge about evil, because they know everything about us. In order to create smart plan, we have to gather as much as information. And having information or knowledge about the evil things doesn’t make us one of them. That’s just information. The decision is still on our minds, whether we want to be bad or good or both.

(Buku ini mengajarkan kita bahwa untuk mengetahui kebenaran, kita juga perlu mengetahui yang salah. Untuk mengalahkan yang jahat, kita juga perlu mempelajari mereka. Kita gak bisa menutup diri kita sepenuhnya dari pengetahuan mengenai kejahatan karena yang jahat sudah tahu siapa kita. Untuk menciptakan rencana yang smart, kita perlu banyak informasi baik mengenai yang baik maupun buruk. Memiliki informasi mengenai hal-hal yang dianggap jahat pun tidak otomatis membuat kita jahat kok. Semua itu hanya informasi. Keputusan tetep ada pada kita sendiri, mau jadi jahat, jadi baik atau jadi keduanya.)

Another thing I learned from this book is that since I found a new book crush here which is Nathaniel Thorn, I can learn about myself that I only have 2 book crushes so far which both have green stuff as their colors. I learned that I always like someone cool or someone with weird humor sense which are only stuff to hide their pain and sadness. I could sympathize and relate to them so deeply because I might be like them in some way or another since the people you have stronger feelings whether it's love or hate have similarities to yours. So, those similarities trigger something inside your soul and create a reaction (I don't know what I'm trying to say here, hahahaha, forget it).

(Hal lain yang aku pelajari dari buku ini adalah karena aku menemukan book crush baru yaitu Nathaniel Thorn, aku dapat mempelajari mengenai diriku sendiri yang hanya punya 2 book crush sejauh ini yang keduanya mengandung unsur kehijauan (haha - bisa berfotosintesis mungkin?). Aku juga kayaknya suka orang orang yang cool atau punya selera humor aneh yang ternyata hanya cover untuk menutupi kesedihan mereka. Aku bisa bersimpati dan relate ke mereka karena aku mungkin kayak mereka dalam satu hal atau hal lainnya karena saat kamu punya perasaan yang kuat terhadap orang tertentu baik suka maupun benci, kemungkinan mereka punya kesamaan denganmu. Jadi kesamaan itu bakal memicu sesuatu dalam jiwamu dan menciptakan sebuah reaksi (mbuh aku mau ngomong apa ini, lupakan saja guys))

In conclusion, Sorcery of Thorns is a book for me, and if you love a book with magic, library, grimoires, and handsome sorcerers (with less romance), you might love this one. Let me know if you have read this book, what do you think about it. Tell me in the comment section. If you have book recs which are similar to Sorcery of Thorns, share them below ya!

(Kesimpulannya, Sorcery of Thorns adalah buku yang tercipta buat aku, dan kalau kamu suka buku yang ada magic, library, grimoire dan sorcerer tampan (dengan porsi romance yang lebih sedikit), kamu mungkin suka yang satu ini. Kasih tau pendapatmu kalau kamu udah pernah baca buku ini di kolom komentar ya. Dan kalau kamu punya rekomendasi buku yang mirip-mirip sama Sorcery of Thorns, bisa juga taruh di bawah sana.)

0 Comments

don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!

Note: only a member of this blog may post a comment.