Mana yang Terbaik? Lonely Castle in the Mirror vs Kastel Terpencil di Dalam Cermin
Hai, bulan ini aku menyelesaikan satu ARC yang aku dapat yaitu
Lonely Castle in the Mirror oleh Mizuki Tsujimura, yang merupakan terjemahan
bahasa Inggris dari buku Kagami no Kojou. Tahun lalu aku sudah membaca Kastel
Terpencil di Dalam Cermin dan sudah membuat video review dan blog reviewnya.
Kali ini aku tidak akan mereview buku ini kembali, tapi lebih ke membandingkan
kedua buku dalam dua bahasa berbeda yang sudah aku selesaikan, bagaimana mereka
menyajikan ceritanya dan apa saja yang aku dapatkan dari kedua buku tersebut.
BABEL
Kagami no Kojou dirilis dalam bahasa Jepang, dan sudah diterjemahkan
ke dalam beberapa bahasa lain termasuk bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris. Mari kita mengingat kembali
salah satu kutipan favorit aku dari buku Babel oleh R. F. Kuang yang aku baca
tahun lalu yang berkaitan dengan blog post ini dan terutama kehidupan
sehari-hari mengenai terjemahan.
“An act of translation is always an act of betrayal”
Betrayal yang dimaksud adalah kemungkinan hilangnya sesuatu yang ingin
disampaikan penulis kepada pembaca saat sebuah buku diterjemahkan ke dalam
bahasa lain, karena kemungkinan ada satu atau lebih kata yang tidak memiliki
padanan katanya dalam bahasa lain. Hal ini berkaitan dengan proses alih bahasa di mana seorang penerjemah dihadapkan setidaknya dua pilihan yaitu : menerjemahkan dengan tujuan agar hasilnya bisa diterima secara "natural" oleh pembaca dengan menyesuaikan kata-kata yang ada di teks asli dengan kata-kata dalam bahasa tujuan baik dengan mengubah, menghilangkan atau menambahkan kata di dalam hasil terjemahan yang tidak ada di dalam teks asli, pokoknya harus terasa natural bagi pembaca. Kedua, menerjemahkan dengan tujuan untuk "melestarikan" makna teks asli dengan mengabaikan bagaimana pembaca akan relate atau dekat dengan teks yang diterjemahkan, sehingga pembaca mendapatkan informasi tertentu dari teks tersebut yang berkaitan dengan teks asli namun terasa kaku dan bahkan sulit dipahami. Baik pilihan pertama dan kedua, sama-sama tidak akan bisa menyajikan hasil terjemahan yang sempurna dan bisa menyampaikan 100% isi dari teks aslinya.
PENERJEMAH
Kastel Terpencil di Dalam Cermin : Mohammad Ali
Lonely Castle in the Mirror : Philip Gabriel
COVER
Pembuatan sampul buku juga merupakan proses penerjemahan dari bentuk
tulisan menjadi visual yang juga menurut aku adalah proses yang tidak mudah.
Maka aku memutuskan untuk mengikutsertakan aspek cover atau sampul buku di
dalam blog post ini.
Dari cover Kastel Terpencil di Dalam Cermin dan Lonely Castle in the
Mirror, aku semakin kagum terhadap para ilustrator cover di seluruh dunia di
mana satu buku bisa memunculkan gambaran yang berbeda-beda. Keduanya sama-sama
cantik menurut aku. Versi Indonesia lebih berasa akhir tahun, seperti musim
gugur – musim dingin yang menekankan pada kesan misterius. Sedangkan Lonely
Castle in the Mirror menggunakan warna biru dengan ilustrasi motif serigala yang memberikan kesan magical realism.
BLURB
Kastel Terpencil di Dalam Cermin
“Aku ingin menolongmu.”
Kokoro merasa terusir dari kelasnya sendiri hingga ia mengurung diri
di rumah dan menolak pergi ke sekolah. Pada suatu hari, cermin di dalam
kamarnya mengeluarkan cahaya terang. Dan di dalam cermin tersebut ada bangunan
misterius yang mirip sebuah kastil. Ada tujuh orang yang juga “diundang” ke
sana—mereka yang menolak pergi ke sekolah seperti Kokoro. Untuk apa mereka
bertujuh dikumpulkan di kastel? Siapakah sebenarnya sosok gadis bertopeng
serigala yang mengundang mereka? (Gramedia.com)
Lonely Castle in the Mirror
In a tranquil neighborhood of Tokyo seven students are avoiding
going to school – hiding in their darkened bedrooms, unable to face their
family and friends – until the moment they find the mirrors in their bedrooms
are shining.
At a single touch, they are pulled from their lonely lives into to a
wondrous castle straight out of a Grimm’s fairy tale. This whimsical place,
oddly lacking in food and running water but full of electrical sockets, is home
to a petulant girl in a mask, named Wolf Queen and becomes their playground and
refuge during school hours. Hidden within the walls they’re told is a key that
will grant one wish, and a set of clues with which to find it. But there's a
catch: the key must be found by the end of the school year and they must leave
the premises by five o'clock each day or else suffer a fatal end.
As time passes, a devastating truth emerges: only those brave enough
to share their stories will be saved. And so they begin to unlock each other's
stories: how a boy is showered with more gadgets than love; how another suffers
a painful and unexplained rejection and how a girl lives in fear of her
predatory stepfather. As they struggle to abide by the rules of the game, a moving
story unfolds, of seven characters trapped in a cycle of misunderstanding and
loneliness, who are ultimately set free by the power of friendship, empathy,
and sacrifice.
Exploring vivid human stories with a twisty and puzzle-like plot,
this heart-warming novel is full of joy and hope for anyone touched by sadness
and vulnerability. At the heart of this tender, playful tale is a powerful
message about the importance of reaching out which shows how with one kind act
you can change your life for the better, and more importantly, you can change
the lives of others. (Erewhonbooks.com)
LAYOUT & FONT
Layout dan font yang digunakan dalam kedua buku ini mempengaruhi
bagaimana pengalaman membaca kita mulai dari awal hingga akhir bukunya. Seperti
yang sudah aku sebutkan di blog review Kastel Terpencil di Dalam Cermin, aku
merasa font yang digunakan cukup kecil dan jarak antar barisnya cukup rapat,
sehingga terlihat menakutkan buat aku. Selain itu, dalam 1 bab yang diceritakan
adalah 1 bulan yang dialami oleh Kokoro, sehingga kisahnya cukup panjang.
Ketika aku membaca Lonely Castle in the Mirror, ukuran font yang digunakan
tidak terlalu kecil dan jarak antar barisnya tidak terlalu rapat, selain itu
yang terpenting adalah edisi bahasa Inggris yang ini selalu memberikan jarak
atau spasi untuk pergantian bagian dalam satu bab sehingga pembaca tidak merasa
terintimidasi oleh panjangnya teks atau merasa lelah.
WHAT I’VE GOT
+ Karakter seperti Ibu Kokoro, Bu Kitajima, di versi bahasa Indonesia menggunakan kata “Ibu” untuk menunjuk dirinya sendiri yang menurut aku terasa lebih halus daripada “aku” atau “saya” atau “I” dalam versi bahasa Inggris.
+ Penggunaan kata “cogan” di versi bahasa Indonesia untuk menyebut
salah satu karakter yang merupakan istilah masa kini cukup menggelitik dan
sangat cocok digunakan apalagi ketika pembaca akhirnya mencapai bagian
pengungkapan dan plot twist. Dalam versi bahasa Inggris, menggunakan kata
“good-looking”, “handsome” dan “dish”.
+ Pemilihan kata “Woy, Subaru!” yang digunakan dalam versi bahasa
Indonesia sudah cukup menjelaskan bagaimana intonasi suara karakter yang
mengatakan hal tersebut dengan situasi yang terjadi dalam cerita, sehingga
penjelasan detail mengenai kenapa Kokoro terkejut yang memang tidak
dimunculkan, juga tidak mempengaruhi pemahaman pembaca. Sedangkan dalam versi
bahasa Inggris menggunakan ‘Hey, Subaru!” yang terasa lebih netral dan dengan
gaya penulisan yang digunakan untuk versi ini, maka pembaca bisa menebak
sedikit kenapa Kokoro terkejut, tapi versi ini memberikan penjelasan mendetail
mengenai hal tersebut.
+ Lonely Castle in the Mirror menggunakan honorific –chan, -san,
-kun, dsb membuat semuanya lebih jelas seperti bagaimana satu karakter melihat
karakter lain, dan juga kenapa satu karakter merasa kaget ketika seseorang
memanggil namanya. Di versi bahasa Indonesia tidak disebutkan, sehingga aku
bertanya-tanya kenapa Kokoro terkejut saat Subaru memanggilnya Kokoro, padahal
memang dia kenalan pakai nama Kokoro. Ternyata Subaru memanggilnya dengan nama
Kokoro-chan.
+ Penjelasan mengenai sekolah Bu Kitajima. Di versi bahasa Indonesia
hanya disebutkan “sekolah”, sedangkan di versi bahasa Inggris disebutkan
“School” dengan huruf awal kapital dan keterangan bahwa mereka menggunakan
bahasa Inggris untuk menyebutkannya. Waktu awal baca yang versi bahasa
Indonesia aku merasa sebutan “sekolah” ini digunakan agar anak-anak yang masuk
Kelas Kalbu tetap merasa bersekolah, ga beda dengan anak-anak lain di sekolah
formal. Sedangkan versi bahasa Inggris, aku merasa penggunaan kata “School”
memberikan kesan kalau Classroom for the Heart ini adalah tempat yang berbeda
dengan sekolah yang sudah membuat mereka enggan pergi ke sana, lebih terkesan
modern dan keren.
+ Di versi bahasa Indonesia, kita mendapati nama Kelas kalbu yang
menggunakan karakter kanji yang sama dengan nama Kokoro. Di versi bahasa
Inggris, kita bakal mengetahui kalau nama asli kelasnya adalah Kokoro no Kyoushitsu
atau Classroom for the Heart.
+ Ada label "Supporting Children's Development" yang kalau
di edisi bahasa Indonesia bagian ini tulisannya "Lembaga Pendidikan Luar
Sekolah"
+ Kalau di versi bahasa Indonesia Kokoro menyebutkan kalau dia tidak
bisa sekolah bukan karena tidak bisa berbaur. Di versi bahasa Inggris, Kokoro
menyebutkan hal yang dikatakan Ibu Kepala Sekolah bukan alasan kenapa dia tidak bisa
berbaur. Bagian ini membuat aku ingin baca edisi aslinya.
+ Suka banget kedua versi bisa membuat bagian ini terlihat sopan dan ramah : "Kalau Kokoro baru datang hari ini, bukan?" dan "You haven't
been over for a while, have you, Kokoro-chan?"
+ Di versi bahasa Indonesia, Kokoro memanggil "Kak Aki", sedangkan di versi bahasa Inggris menjadi "Aki-senpai". Reaksi Masamune di kedua versi buku ini sama-sama berkaitan, karena di kegiatan ekstrakurikuler selalu ada yang dipanggil "kak", begitu pula di Jepang akan dipanggil "senpai".
+ Di versi bahasa Inggris, Pak Ida adalah Ida-sensei. Geng Sanada menanyakan apakah Pak Ida punya pacar atau belum dengan menggunakan panggilan yang menyingkat sensei menjadi Ida-sen. That
makes sense kenapa Kokoro bilang geng Sanada akrab dengan Pak Ida.
KESIMPULAN
Tidak ada versi yang lebih baik dari yang lainnya dalam hal terjemahan. Namun untuk pemilihan font dan layout isi buku, aku lebih nyaman membaca edisi bahasa Inggris. Karena kedua buku ini, aku jadi ingin belajar Bahasa Jepang agar bisa membaca Kagami no Kojou untuk mengetahui apa yang sebenarnya tertulis di buku ini. Versi bahasa Indonesia diterjemahkan dengan tujuan agar bukunya terasa dekat dan relatable kepada pembaca Indonesia melalui penggunaan kata-kata tertentu dan tidak menggunakan kata-kata yang lain yang mungkin mendistract pembaca dengan tambahan keterangan informasi seputar istilah Jepang yang digunakan di buku aslinya. Sedangkan versi bahasa Inggris diterjemahkan agar pembaca lebih mengenal budaya Jepang terutama bahasa seperti penggunaan honorific dengan menyediakan keterangan asal istilah yang digunakan dalam bahasa Jepang dari buku aslinya. Kedua versi buku berhasil menyajikan kisah yang mengharukan, misterius dan menyadarkan pembaca mengenai kisah-kisah anak SMP yang tidak bisa berangkat sekolah. Pemilihan kata-kata yang secara teknis mungkin berbeda pada dasarnya sama-sama memunculkan kesan ramah, bersahabat dan lemah lembut yang menurut aku sangat penting dalam buku ini.
Sudah ada yang pernah baca buku ini? Kastel Terpencil di Dalam
Cermin atau Lonely Castle in the Mirror atau keduanya? Kasih tahu di kolom komentar.
0 Comments
don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!
Note: only a member of this blog may post a comment.