The Burning God by R.F. Kuang | Book Review

 


The Burning God is the final book in The Poppy War trilogy by R.F. Kuang, and it delivers a brutal, intense, and unforgettable ending to Rin’s journey. After everything that happened in The Dragon Republic, Rin is back on the battlefield, fighting for power, survival, and revenge. Leading the Southern Coalition against the Republic, she’s faced with impossible choices that push her to her limits. With war tearing the empire apart and enemies closing in from every direction, Rin becomes more ruthless than ever, and forces herself to deal with the real cost of power.

(The Burning God adalah buku terakhir dalam trilogi The Poppy War oleh R.F. Kuang, dan buku ini memberikan akhir yang brutal, intens, dan tak terlupakan bagi perjalanan Rin. Setelah semua yang terjadi di The Dragon Republic, Rin kembali ke medan perang, berjuang demi kekuasaan, bertahan hidup, dan balas dendam. Memimpin Koalisi Selatan melawan Republik, ia dihadapkan pada pilihan-pilihan mustahil yang mendorongnya hingga batas kemampuannya. Dengan perang yang menghancurkan kekaisaran dan musuh-musuh yang datang dari segala arah, Rin menjadi lebih kejam dari sebelumnya, dan memaksa dirinya untuk menghadapi harga sebenarnya dari kekuasaan.)

 

BOOK INFORMATION

Title                       : The Burning God - Sang Dewi Api

Author                  : R.F. Kuang

Translator            : Meggy Soedjatmiko

Language             : Indonesian

Publisher             : Gramedia Pustaka Utama

Released             : January 2023

Read                      : February 15-20, 2023

Length                  : 666 pages

GR Rating            : 4.33

My Rating            : 5.00


Post you might like : The Dragon Republic by R.F. Kuang Book Review


CONTENT WARNINGS

■Graphic violence

■War and its consequences

■Trauma and PTSD

■Self-harm and substance abuse

■Sexual violence and abuse

■Profanity

 

BOOK REVIEW

As the final book in The Poppy War trilogy, The Burning God delivers a harsh, thought-provoking, and honestly heartbreaking conclusion to Rin’s story. Just like the first two books, it takes a look at power, how it changes people, how it can be abused, and whether it’s ever truly possible to use it for good. Rin starts off believing she can use her power to liberate people, but as the story unfolds, we see how ambition and control can quickly turn into oppression and moral compromise. It reminds me a lot of real-world history, where leaders who rise up with good intentions often become obsessed with power itself, and forget the justice they once fought for once they got people's support and titles to lead them. This book doesn’t hold back in showing just how dangerous unchecked ambition can be, where it's unstoppable to the point where it's consuming everything it touches.

One of the things that is consistently shown throughout the trilogy is the true cost of war. It doesn’t romanticize battle or make war look heroic, instead, it lays out the destruction, suffering, and loss that come with it. Throughout this book, you see how war doesn’t just end with victory, it leaves behind devastation that can last for generations. This story makes us question whether violence can ever bring real peace, or if it just leads to more pain and revenge. And honestly, that feels super relevant today. So many countries are still dealing with political conflicts, civil wars, and power struggles, and innocent people always pay the highest price. Kuang doesn’t let readers escape the reality of war, she forces us to face it head-on.  

One of the things that feels so relatable to our world today in The Burning God is how it explores nationalism and blind loyalty. This book does an incredible job showing how people can be manipulated into following leaders or ideologies without questioning them, even when those leaders act against their best interests. It shows how patriotism can be twisted into something dangerous, how devotion to a country or cause can be used to justify violence, oppression, and war. We constantly see governments, media, and influential figures shaping narratives to control public perception. History is rewritten all the time to make certain people or events look better (or worse) depending on who’s in power. Countries justify wars, genocide, oppression and exploitation by pushing selective versions of history, and propaganda floods social media, which make it harder than ever to separate truth from lies.

Kuang forces us to question the way we see the world. How much of what we believe about our own countries, leaders, and histories is actually true? Are we being manipulated without even realizing it? This book challenges us to think critically about patriotism and the stories we’re told. It's honestly chilling how much The Burning God mirrors the way propaganda influences people today, shapes opinions and decisions in ways we might not even notice.

The Burning God further shows how every decision Rin and the other characters make comes with serious consequences. There are no easy choices in this book because every action leads to something bigger, often in ways the characters didn’t expect. Rin constantly faces situations where she has to decide between power, survival, and revenge, and each choice comes with sacrifices. What I love about this is that this book doesn’t try to paint things as purely right or wrong. It shows how complicated leadership and survival can be, where morality isn’t black and white. It reminds me of how real-world leaders often have to make difficult decisions, ones that don’t always have a clear or fair outcome which results to nobody being purely good or evil (You might need to question yourself when you see your favorite political figure as 100% good without sins nor mistakes).

This book also really explores what people are willing to do to survive and fight for what they believe in. It’s not just about physical survival but also about holding onto who you are when everything around you is falling apart. Throughout this book, the characters are forced to ask themselves how far they’re willing to go and what they’re willing to lose to win. Rin, especially, struggles with this where she has to make impossible choices, carry the burden of leadership, and deal with the sacrifices that come with it. Her journey makes me think about how, in times of war or crisis, people often have to make painful compromises just to keep going.  

Another theme that feels so relatable is how difficult it is to forgive and move on from betrayal, trauma, and destruction. The Burning God doesn’t offer an easy answer about whether true redemption is even possible. Instead, it shows how holding onto grudges and revenge can completely consume someone, and push them further into violence and destruction. It makes me think about real-world conflicts where people can’t move past historical grievances, which leads to endless cycles of violence. This book shows the idea that revenge doesn’t fix anything, because it just creates more pain. At the same time, it suggests that even though forgiveness is incredibly hard, breaking out of these cycles might be the only way real change can happen.

(Sebagai buku terakhir dalam trilogi The Poppy War, The Burning God memberikan akhir yang pahit, menggugah pikiran, dan sungguh menyayat hati bagi kisah Rin. Sama seperti dua buku pertama, buku ini membahas tentang kekuasaan, bagaimana kekuasaan mengubah manusia, bagaimana kekuasaan dapat disalahgunakan, dan apakah kekuasaan benar-benar dapat digunakan untuk kebaikan. Rin awalnya percaya bahwa ia dapat menggunakan kekuasaannya untuk membebaskan orang-orang, tetapi seiring berjalannya cerita, kita melihat bagaimana ambisi dan kontrol dapat dengan cepat berubah menjadi penindasan dan kompromi moral. Buku ini mengingatkan kita pada sejarah dunia nyata, di mana para pemimpin yang memulai perjuangan dengan niat baik sering kali terobsesi dengan kekuasaan itu sendiri, dan melupakan keadilan yang pernah mereka perjuangkan setelah mereka mendapatkan dukungan dan jabatan dari orang-orang untuk memimpin mereka. Buku ini tidak ragu-ragu menunjukkan betapa berbahayanya ambisi yang tidak terkendali, yang tidak dapat dihentikan hingga menelan semua yang disentuhnya.

Salah satu hal yang secara konsisten ditunjukkan di seluruh trilogi adalah harga yang harus dibayar akibat perang yang sebenarnya. Buku ini tidak meromantisasi pertempuran atau membuat perang terlihat heroik, sebaliknya, buku ini memaparkan kehancuran, penderitaan, dan kerugian yang menyertainya. Di sepanjang buku ini, kita melihat bagaimana perang tidak hanya berakhir dengan kemenangan, tetapi juga meninggalkan kehancuran yang dapat berlangsung selama beberapa generasi. Kisah ini membuat kita mempertanyakan apakah kekerasan dapat membawa perdamaian yang sesungguhnya, atau apakah kekerasan hanya menyebabkan lebih banyak rasa sakit dan balas dendam. Dan sejujurnya, hal ini terasa sangat relevan saat ini. Begitu banyak negara yang masih berhadapan dengan konflik politik, perang saudara, dan perebutan kekuasaan, dan orang-orang yang tidak bersalah selalu mengalami kerugian paling banyak. Kuang tidak membiarkan pembaca melarikan diri dari kenyataan perang, ia memaksa kita untuk menghadapinya secara langsung.

Salah satu hal yang terasa sangat relevan dengan dunia kita saat ini dalam The Burning God adalah bagaimana buku ini mengeksplorasi nasionalisme dan kesetiaan buta. Buku ini melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam menunjukkan bagaimana orang-orang dapat dimanipulasi untuk mengikuti pemimpin atau ideologi tanpa mempertanyakannya, bahkan ketika para pemimpin tersebut bertindak melawan tujuan terbaik mereka. Buku ini menunjukkan bagaimana patriotisme dapat diputarbalikkan menjadi sesuatu yang berbahaya, bagaimana pengabdian kepada suatu negara atau suatu tujuan dapat digunakan untuk membenarkan kekerasan, penindasan, dan perang. Kita terus-menerus melihat pemerintah, media, dan tokoh berpengaruh membentuk narasi untuk mengendalikan persepsi publik. Sejarah ditulis ulang sepanjang waktu untuk membuat orang-orang atau peristiwa tertentu terlihat lebih baik (atau lebih buruk) tergantung pada siapa yang berkuasa. Negara-negara membenarkan perang, genosida, penindasan, dan eksploitasi dengan mempopulerkan versi sejarah yang sudah mereka pilih, dan propaganda membanjiri media sosial, yang membuatnya lebih sulit dari sebelumnya untuk memisahkan kebenaran dari kebohongan.

Kuang memaksa kita untuk mempertanyakan cara kita melihat dunia. Berapa banyak hal yang kita yakini tentang negara, pemimpin, dan sejarah yang merupakan kebenaran? Apakah kita dimanipulasi tanpa menyadarinya? Buku ini menantang kita untuk berpikir kritis tentang patriotisme dan informasi yang diberikan kepada kita. Sungguh mengerikan betapa The Burning God mencerminkan cara propaganda memengaruhi orang-orang saat ini, membentuk opini dan keputusan dengan cara yang mungkin tidak kita sadari.

The Burning God lebih jauh menunjukkan bagaimana setiap keputusan yang dibuat Rin dan karakter lainnya memiliki konsekuensi serius. Tidak ada pilihan yang mudah dalam buku ini karena setiap tindakan mengarah pada sesuatu yang lebih besar, sering kali dengan cara yang tidak diharapkan oleh para karakternya. Rin terus-menerus menghadapi situasi di mana ia harus memutuskan antara kekuasaan, bertahan hidup, dan balas dendam, dan setiap pilihan disertai dengan pengorbanan. Hal yang aku sukai dari buku ini adalah buku ini tidak mencoba menggambarkan segala sesuatunya sebagai benar atau salah. Buku ini menunjukkan betapa rumitnya kepemimpinan dan bertahan hidup, di mana moralitas tidak pernah hitam dan putih. Buku ini mengingatkan kita tentang bagaimana para pemimpin di dunia nyata sering kali harus membuat keputusan yang sulit, keputusan yang tidak selalu memiliki hasil yang jelas atau adil yang mengakibatkan tidak ada yang benar-benar baik atau jahat (Kalian mungkin perlu mempertanyakan diri sendiri ketika menganggap tokoh politik favorit kalian itu 100% baik tanpa dosa atau kesalahan). 

Buku ini juga benar-benar mengeksplorasi apa yang orang bersedia lakukan untuk bertahan hidup dan memperjuangkan apa yang mereka yakini. Buku ini bukan hanya tentang bertahan hidup secara fisik tetapi juga tentang mempertahankan siapa diri kita ketika segala sesuatu di sekitar kita berantakan. Sepanjang buku ini, para tokoh dipaksa untuk bertanya pada diri mereka sendiri seberapa jauh mereka bersedia melangkah dan apa yang rela mereka korbankan untuk menang. Rin, khususnya, berjuang dengan hal ini di mana ia harus membuat pilihan yang mustahil, memikul beban kepemimpinan, dan menghadapi pengorbanan yang menyertainya. Perjalanannya membuat kita berpikir tentang bagaimana, di masa perang atau krisis, orang sering kali harus membuat kompromi yang menyakitkan hanya untuk terus bertahan.

Tema lain yang terasa sangat relevan adalah betapa sulitnya memaafkan dan melupakan pengkhianatan, trauma, dan kehancuran. The Burning God tidak memberikan jawaban yang mudah tentang apakah penebusan yang sesungguhnya itu mungkin. Sebaliknya, buku ini menunjukkan bagaimana menyimpan dendam dan balas dendam dapat sepenuhnya menguras pikiran seseorang, dan mendorong mereka lebih jauh ke dalam kekerasan dan kehancuran. Buku ini membuat kita berpikir tentang konflik dunia nyata di mana orang-orang tidak dapat melupakan ketidakadilan historis, yang mengarah pada siklus kekerasan yang tak berujung. Buku ini menunjukkan gagasan bahwa balas dendam tidak memperbaiki apa pun, karena itu hanya menciptakan lebih banyak rasa sakit. Pada saat yang sama, hal ini menunjukkan bahwa meskipun memaafkan itu sangat sulit, keluar dari siklus ini mungkin merupakan satu-satunya cara agar perubahan nyata dapat terjadi.)

 

WHAT I LOVE

■As the last book in The Poppy War trilogy, The Burning God delivers an intense, emotional ending that stays true to itself where there’s no sugarcoating or forced happy ending. It’s tragic but fitting, which makes the finale feel earned rather than convenient. I love that this book doesn’t shy away from its dark themes and instead gives a bold and unflinching conclusion.  

■One of my favorite things about this book is how the characters continue to grow and change. Over the course of the trilogy, we see them struggle, make mistakes, and deal with the consequences of their choices. It’s not just a simple good and evil story because every character has their own motivations, flaws, and conflicts. I found myself cheering them on, feeling frustrated with them, and even grieving for them. I even caught myself in surprise seeing how far Rin has evolved in this trilogy. I once wondered what would happen to her if she didn't go to Sinegard, but to marry in Tikany.

■This book explores some heavy and thought-provoking themes, like nationalism, propaganda, historical erasure, and war crimes. What makes it even more powerful is how relevant these themes are to real life. Kuang blends history with fantasy in a way that makes us reflect on the world today. It’s not only a war story, it’s also a story that forces us to think about how history is shaped and how power is used.  

■A lot of fantasy books try to wrap things up neatly in the end, but The Burning God refuses to take the easy way out. It sticks to its themes of sacrifice, revenge, and the consequences of war, by delivering an ending that is both devastating and powerful. Even though it left me emotionally drained, I respect that it didn’t compromise its message just to make things easier for the reader.  

■ This is the kind of book that makes us feel everything whether it’s frustration, grief, admiration, or heartbreak. The emotional weight of the story, combined with its unforgettable characters, makes it one of those books that leaves an unforgettable impact.

(■Sebagai buku terakhir dalam trilogi The Poppy War, The Burning God memberikan akhir yang intens dan emosional yang tetap konsisten dari buku pertama, tanpa basa-basi atau akhir bahagia yang dipaksakan. Buku ini tragis tetapi pas, yang membuat akhir cerita terasa wajar dan bukannya nyaman. Aku suka bahwa buku ini tidak menghindar dari tema-tema gelapnya dan malah memberikan akhir yang berani dan tak tergoyahkan.

■Salah satu hal favorit aku tentang buku ini adalah bagaimana karakter-karakternya terus tumbuh dan berubah. Selama trilogi, kita melihat mereka berjuang, membuat kesalahan, dan menghadapi konsekuensi dari pilihan mereka. Buku ini bukan sekadar cerita tentang kebaikan dan kejahatan karena setiap karakter memiliki motivasi, kekurangan, dan konflik mereka sendiri. Aku bisa menyemangati mereka, merasa frustrasi dengan mereka, dan bahkan berduka bersama mereka. Aku bahkan terkejut melihat seberapa jauh Rin telah berkembang dalam trilogi ini. Aku jadi sempat bertanya-tanya apa yang akan terjadi padanya jika dia tidak pergi ke Sinegard, tetapi menikah di Tikany. 

■Buku ini mengeksplorasi beberapa tema berat dan menggugah pikiran, seperti nasionalisme, propaganda, penghapusan sejarah, dan kejahatan perang. Yang membuatnya lebih kuat adalah seberapa relevan tema-tema ini dengan kehidupan nyata. Kuang memadukan sejarah dengan fantasi dengan cara yang membuat kita merenungkan dunia kita saat ini. Ini bukan hanya kisah perang, tetapi juga kisah yang memaksa kita untuk berpikir tentang bagaimana sejarah dibentuk dan bagaimana kekuasaan digunakan.

■Banyak buku fantasi mencoba menyelesaikan semuanya dengan rapi di bagian akhir, tetapi The Burning God menolak untuk memilih jalan keluar yang mudah. ​​Buku ini tetap berpegang pada tema pengorbanan, balas dendam, dan konsekuensi perang, dengan memberikan akhir yang menghancurkan sekaligus kuat. Meskipun buku ini menguras emosi, aku menghargai bahwa buku ini tidak mengorbankan pesan-pesannya hanya untuk membuat segalanya lebih mudah bagi pembaca.

■ Ini adalah jenis buku yang membuat kita merasakan segalanya, entah itu frustrasi, kesedihan, kekaguman, atau patah hati. Beban emosional cerita, dipadukan dengan karakter-karakternya yang tak terlupakan, membuat buku ini menjadi salah satu buku yang meninggalkan kesan tak terlupakan.)

 

CONCLUSION

The Burning God is a brutal but fitting ending to The Poppy War trilogy. It stays true to its themes like power, war, nationalism, and the harsh reality of ambition. Kuang doesn’t try to wrap things up in a neat, comforting way. Instead, she shows how violence, revenge, and the thirst for control can shape both people and entire nations. This book really makes us think about the weight of choices, the cost of war, and the struggles of loyalty and identity. I think the ending is powerful because it refuses to take the easy way out. It’s emotionally intense, thought-provoking, and scarily relevant to the real world. 

(The Burning God adalah akhir yang brutal namun pas untuk trilogi The Poppy War. Buku ini tetap setia pada tema-tema yang diusungnya seperti kekuasaan, perang, nasionalisme, dan kenyataan pahit dari ambisi. Kuang tidak mencoba untuk mengakhiri semuanya dengan cara yang rapi dan menenangkan. Sebaliknya, ia menunjukkan bagaimana kekerasan, balas dendam, dan keinginan untuk mengendalikan dapat membentuk seseorang dan seluruh bangsa. Buku ini benar-benar membuat kita berpikir tentang beratnya pilihan, harga yang harus dibayar akibat perang, dan perjuangan mengenai kesetiaan dan identitas. Menurutku akhir cerita yang seperti ini terasa kuat karena tidak mengambil jalan keluar yang mudah. ​​Buku ini sangat emosional, menggugah pikiran, dan sangat relevan dengan dunia nyata.)

0 Comments

don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!

Note: only a member of this blog may post a comment.