R.F. Kuang’s The Poppy War is one of the most intense and intriguing fantasy books I’ve ever read. It mixes history, mythology, and war in a way that feels both real and brutal. The story follows Rin, a war orphan from a poor village who manages to get into Sinegard, the top military academy in the Nikara Empire. While training, she discovers she has the rare ability to use shamanic magic, which connects her to the Phoenix god, a source of incredible power but also terrifying destruction. As war breaks out between the Nikara Empire and the Federation of Mugen, Rin is thrown into the chaos and forced to face the brutal reality of war, power, and survival.
(The Poppy War oleh R.F. Kuang adalah salah satu buku fantasi paling intens dan menarik yang pernah aku baca. Buku ini memadukan sejarah, mitologi, dan perang dengan cara yang terasa nyata sekaligus brutal. Cerita ini mengikuti Rin, seorang yatim piatu korban perang dari desa miskin yang berhasil masuk ke Sinegard, akademi militer teratas di Kekaisaran Nikan. Saat menjalani pendidikan, dia menemukan bahwa dia memiliki kemampuan langka untuk menggunakan sihir shaman, yang menghubungkannya dengan dewa Phoenix, sumber kekuatan luar biasa tetapi juga kehancuran yang mengerikan. Saat perang pecah antara Kekaisaran Nikan dan Federasi Mugen, Rin terlempar ke dalam kekacauan dan dipaksa menghadapi kenyataan perang, kekuasaan, dan bertahan hidup yang brutal.)
BOOK INFORMATION
Title : The Poppy War - Perang Opium
Author : R. F. Kuang
Translator : Meggy Soedjatmiko
Publisher : Gramedia Pustaka Utama
Language : Indonesian
Length : 536 pages
Released : October 2019
Read : January 12-15, 2023
GR Rating : 4.17
My Rating : 5.00
CONTENT WARNINGS
■Graphic violence: The novel includes explicit and graphic depictions of violence, including war, torture, and scenes of intense brutality. It portrays the horrors and consequences of war.
■Sexual violence
■Drug use
■Self-harm and suicide
■Racism and discrimination:
■Explicit sexual content
■Psychological trauma
Content you might like : Yellowface by R.F. Kuang Book Review
PHYSICAL BOOK REVIEW
The Indonesian edition of The Poppy War, published by Gramedia Pustaka Utama in 2019, has stunning cover, with a beautifully detailed illustration of Rin that perfectly shows her fierce and determined personality. One of the things I appreciate about this edition is the translation by Meggy Soedjatmiko. It flows so smoothly that reading it feels effortless. The language is clear and easy to understand, which makes it accessible even though this book is packed with heavy themes and complex emotions. Even though it's over 500 pages long, the excellent translation makes it a surprisingly fast read, I finished it in just a few days because I couldn’t put it down.
Physically, this book has floppy binding which makes it easy to hold and open, and the font size and spacing are just right, so you don’t have to strain your eyes while reading. Another bonus is the matching bookmark that comes with the book, featuring the same beautiful cover illustration. Also, the map of the Nikara Empire at the beginning of this book helps visualize the setting and understand the scale of the war Rin is thrown into.
(Edisi Bahasa Indonesia dari The Poppy War, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2019, memiliki cover yang cantik, dengan ilustrasi Rin yang sangat detail yang dengan sempurna menunjukkan kepribadiannya yang garang dan penuh tekad. Salah satu hal yang aku suka dari edisi ini adalah terjemahannya oleh Meggy Soedjatmiko. Buku ini mengalir begitu lancar sehingga terasa mudah dibaca. Bahasanya jelas dan mudah dipahami, yang membuatnya mudah dipahami meskipun buku ini penuh dengan tema-tema yang berat dan emosi yang kompleks. Meskipun panjangnya lebih dari 500 halaman, terjemahannya yang sangat bagus membuatnya sangat cepat dibaca, aku menyelesaikannya hanya dalam beberapa hari karena aku tidak bisa berhenti membacanya.
Secara fisik, buku ini floppy sehingga mudah dipegang dan dibuka, dan ukuran serta spasi hurufnya pas, sehingga kita tidak lelah saat membaca. Bonus lainnya adalah pembatas buku yang disertakan dalam buku, yang menampilkan ilustrasi sampul yang sama indahnya. Selain itu, peta Kekaisaran Nikan di awal buku ini membantu memvisualisasikan latar dan memahami skala perang yang dialami Rin.)
BOOK REVIEW
R.F. Kuang’s The Poppy War is blends historical events with fantasy in a way that feels both epic and brutally real. Inspired by Chinese history, it dives into the messy realities of war, power, and survival. The story forces us to think about ambition, leadership, and the devastating consequences of conflict. With its complex main character, intense world-building, and morally gray choices, this book becomes more than just a fantasy, it’s a chilling reflection of real-life tragedies.
At the center of the story is Fang Runin, or Rin, an orphan from a poor village who gets into the elite Sinegard military academy. At first, she’s just a determined student trying to prove herself, but she transforms into a powerful yet deeply conflicted warrior. One of the things that lingered in my mind is how this book questions power, who deserves it, how it changes people, and whether it’s worth the cost. Rin’s journey isn’t about becoming a hero, but about how ambition and war can push someone to the edge. Her choices aren’t always easy to agree with, but that’s what makes her story so interesting.
This book doesn’t hold back when it comes to showing the horrors of war. It’s brutal, raw, and doesn’t sugarcoat anything. The physical and emotional harm of violence is written in a way that makes us feel the weight of every decision and loss. No one walks away from battle unchanged, and The Poppy War makes sure you don’t forget that. It makes me think about how war impacts not just soldiers but entire societies, and how history keeps repeating itself in today’s world.
Beyond war, this book also explores imperialism, colonialism, and the struggle for independence. It shows how powerful nations take advantage of weaker ones and how hard it is to break free from oppression. Even today, countries are still dealing with the consequences of colonialism like economic struggles, political instability, and cultural erasure.
One of the things that I like in The Poppy War is how it refuses to give us a simple “good versus evil” story. Instead of clear heroes and villains, this book forces its characters and readers to deal with difficult moral choices. Rin, in particular, is constantly put in situations where there’s no perfect solution, which makes her journey even more intense. This book shows that war isn’t black and white, but it’s full of gray areas where people have to make choices that go against their own values. It makes me think about how, in times of crisis, doing the "right thing" isn’t always clear or even possible.
Another powerful theme in this book is how war propaganda shapes people’s views and justifies violence. As Rin is influenced by the stories around her, we see how hatred is created and used as a weapon. This is relatable for me because even today, we see how misinformation and political division make it easy for people to demonize others based on race, nationality, or beliefs. The Poppy War makes you question the way societies create enemies and reminds us why empathy is so important even in the middle of conflict.
This book also does an amazing job of exploring trauma and how people deal with it. Every character is shaped by their past, and while some manage to move forward, others spiral into anger, revenge, or despair. It makes me think about whether some wounds ever really heal or if some pain is too deep to escape. Rin’s struggles with rage and vengeance show just how much war changes people, not just physically but mentally. Her journey isn’t just about fighting enemies, it’s also about fighting the trauma that war leaves behind.
On top of that, Rin’s personal struggles with her background and identity add another interesting aspect to the story. Coming from a poor rural province, she constantly faces discrimination from the wealthy elites at Sinegard. Her fight to prove herself reflects the real-world struggles of marginalized people trying to succeed in systems designed to keep them out.
(The Poppy War oleh R.F. Kuang memadukan peristiwa sejarah dengan fantasi dengan cara yang terasa epik sekaligus nyata. Terinspirasi oleh sejarah Tiongkok, buku ini menyelami realitas perang yang kompleks, kekuasaan, dan kelangsungan hidup. Cerita ini memaksa kita untuk berpikir tentang ambisi, kepemimpinan, dan konsekuensi konflik yang mengerikan. Dengan karakter utamanya yang kompleks, world building yang detail, dan pilihan-pilihan moral yang abu-abu, buku ini menjadi lebih dari sekadar fantasi, melainkan juga cerminan tragis dari realitas kehidupan.
Inti cerita ini berpusat pada Fang Runin, atau Rin, seorang yatim piatu dari desa miskin yang berhasil masuk ke akademi militer elit Sinegard. Awalnya, ia hanyalah seorang siswa yang bertekad membuktikan kemampuannya, tetapi seiring waktu, ia berubah menjadi pejuang tangguh yang dipenuhi konflik batin. Salah satu hal yang paling membekas dari buku ini adalah cara ia mempertanyakan konsep kekuasaan: siapa yang layak memegangnya, bagaimana kekuasaan mengubah seseorang, dan apakah itu sepadan dengan pengorbanan yang harus dibayar. Perjalanan Rin bukanlah tentang menjadi pahlawan, melainkan tentang bagaimana ambisi dan perang dapat mendorong seseorang ke ambang kehancuran. Pilihan-pilihannya seringkali sulit diterima, tetapi justru itulah yang membuat kisahnya begitu menarik.
Buku ini tidak ragu untuk menampilkan kengerian perang secara gamblang. Kisahnya brutal, jujur, dan tidak menyembunyikan kebenaran pahit. Luka fisik dan trauma emosional akibat kekerasan digambarkan dengan begitu kuat, membuat kita merasakan betapa beratnya setiap keputusan dan kerugian yang terjadi. Tidak ada satu pun karakter yang keluar dari pertempuran tanpa perubahan, dan The Poppy War memastikan kita merasakan dampaknya. Buku ini membuatku merenungkan bagaimana perang tidak hanya memengaruhi para prajurit, tetapi juga seluruh masyarakat, serta bagaimana sejarah terus berulang di dunia kita saat ini.
Selain perang, buku ini juga mengeksplorasi imperialisme, kolonialisme, dan perjuangan meraih kemerdekaan. Buku ini menunjukkan bagaimana negara-negara kuat memanfaatkan kelemahan negara lain dan betapa sulitnya melepaskan diri dari belenggu penindasan. Bahkan hingga kini, banyak negara masih merasakan dampak kolonialisme, seperti kesulitan ekonomi, ketidakstabilan politik, dan hilangnya identitas budaya.
Salah satu hal yang aku sukai dari The Poppy War adalah bagaimana buku ini menolak untuk menyajikan cerita sederhana tentang "baik versus jahat". Alih-alih menampilkan pahlawan dan penjahat yang jelas, buku ini memaksa karakter dan pembacanya untuk menghadapi dilema moral yang rumit. Rin, khususnya, sering kali dihadapkan pada situasi di mana tidak ada solusi yang ideal, yang membuat perjalanannya semakin menegangkan. Buku ini mengungkapkan bahwa perang tidaklah hitam-putih, melainkan dipenuhi area abu-abu di mana orang harus membuat keputusan yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka yakini. Hal ini membuat kita berpikir bahwa, dalam situasi krisis, melakukan "hal yang benar" tidak selalu jelas atau bahkan mungkin.
Tema lain yang kuat dalam buku ini adalah bagaimana propaganda perang membentuk persepsi dan membenarkan kekerasan. Melalui Rin, kita melihat bagaimana kebencian diciptakan dan dijadikan senjata. Hal ini sangat relevan, karena bahkan di era modern, kita menyaksikan bagaimana misinformasi dan polarisasi politik memudahkan orang untuk memusuhi satu sama lain berdasarkan ras, kebangsaan, atau keyakinan. The Poppy War mengajak kita mempertanyakan cara masyarakat menciptakan musuh dan mengingatkan betapa pentingnya empati, bahkan di tengah konflik.
Buku ini juga melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam mengeksplorasi trauma dan bagaimana orang menghadapinya. Setiap karakter dibentuk oleh masa lalu mereka, dan sementara beberapa berhasil maju, yang lain terjerumus ke dalam kemarahan, balas dendam, atau keputusasaan. Itu membuat saya berpikir tentang apakah beberapa luka benar-benar sembuh atau apakah beberapa rasa sakit terlalu dalam untuk dihindari. Perjuangan Rin dengan amarah dan dendam menunjukkan seberapa besar perang mengubah orang, tidak hanya secara fisik tetapi juga mental. Perjalanannya bukan hanya tentang melawan musuh, tetapi juga tentang melawan trauma yang ditinggalkan perang.
Buku ini juga sangat kuat dalam menggambarkan trauma dan cara setiap karakter menghadapinya. Setiap tokoh dibentuk oleh masa lalu mereka, dan sementara beberapa berhasil bangkit, yang lain justru terjerumus dalam kemarahan, balas dendam, atau keputusasaan. Hal ini membuat kita bertanya-tanya apakah beberapa luka benar-benar bisa sembuh, atau apakah ada rasa sakit yang terlalu dalam untuk diatasi. Perjuangan Rin dengan amarah dan dendamnya menunjukkan betapa perang tidak hanya mengubah seseorang secara fisik, tetapi juga mental. Perjalanannya bukan hanya tentang melawan musuh, tetapi juga tentang melawan trauma yang ditinggalkan perang.
Selain itu, perjuangan Rin dengan latar belakang dan identitasnya menambah dimensi menarik dalam cerita. Berasal dari provinsi pedesaan yang miskin, ia kerap menghadapi diskriminasi dari kalangan elit kaya di Sinegard. Usahanya untuk membuktikan diri mencerminkan perjuangan nyata banyak orang terpinggirkan yang berusaha meraih kesuksesan dalam sistem yang seolah dirancang untuk menyingkirkan mereka.)
WHAT I LOVE
■One of the things I love most about The Poppy War is how well the characters are developed. Rin, the main character, goes through so much change throughout this book. She starts as an ambitious character, determined to escape her small-town life, but as she gains power, she’s forced to deal with the heavy consequences that come with it. She’s flawed, stubborn, and sometimes makes choices that are hard to agree with, but that’s what makes her feel real. Even the side characters aren’t just there to fill space because they each have their own struggles and motivations, which makes the story feel even more alive.
■ From the first page, R.F. Kuang throws you into a dark, intense world that is impossible to look away from. This book deals with heavy topics in a way that feels raw and honest, which makes it easy to get emotionally invested. There are so many twists and moments that completely shocked me so I didn’t want to put this book down.
■I also love how this book blends history with fantasy. Kuang draws inspiration from real historical events, like the Second Sino-Japanese War and the Nanjing Massacre, and mixes them with fantasy elements. This makes the world feel both familiar and completely unique at the same time.
■Another thing that makes this book so powerful is the way it explores deep, intriguing themes. It’s not just about war and magic, it also makes you question things like the cost of power, how trauma changes people, and what it means to make impossible choices.
■One of the most unforgettable aspects of The Poppy War is how brutally honest it is about war. There’s no sugarcoating or glorifying battles, just the harsh, painful reality of what war does to people and societies.
■And of course, the writing itself is amazing. Kuang’s descriptions make the world feel so vivid, and the pacing keeps you interested from start to finish. The world-building is also next-level, with cultures, history, and a magic system that feel fully developed and put together into the story.
■Another thing I love about The Poppy War is how it shows the gap between theory and reality. Rin learns all these military strategies at school, but when she’s actually thrown into war, she realizes that none of it truly prepared her for the chaos and brutality of real battles. She has no real experience, no clear direction, and has to figure things out as she goes. That feels relatable for me because it reminded me of when I graduated from college. I had studied so many subjects, yet when I stepped into the real world, I felt completely unprepared.
■I love how this book challenges traditional fantasy tropes. There are no clear heroes or villains, just people making choices based on their circumstances. The Poppy War refuses to fit into the usual “good versus evil” mold, and that’s what makes it so refreshing. It’s unpredictable, and unlike any other fantasy book I’ve read.
(■Salah satu hal yang paling aku sukai dari The Poppy War adalah pengembangan karakternya yang baik. Rin, karakter utamanya, mengalami begitu banyak perubahan di sepanjang buku ini. Ia diperkenalkan sebagai karakter yang ambisius, bertekad untuk melarikan diri dari kehidupan di kota kecilnya, tetapi saat ia memperoleh kekuasaan, ia dipaksa untuk menghadapi konsekuensi berat yang menyertainya. Ia memiliki kekurangan, keras kepala, dan terkadang membuat pilihan yang sulit diterima, tetapi itulah yang membuatnya terasa manusiawi. Bahkan karakter pendukungnya tidak hanya ada untuk mengisi ruang karena mereka masing-masing memiliki perjuangan dan motivasi mereka sendiri, yang membuat cerita terasa lebih hidup.
■ Sejak halaman pertama, R.F. Kuang membawa kita ke dunia yang gelap dan intens yang mustahil untuk diabaikan. Buku ini membahas tema-tema berat dengan cara yang terasa mentah dan jujur, yang membuat kita mudah terbawa secara emosional. Ada begitu banyak kejutan dan momen menegangkan yang membuat aku sulit berhenti membaca buku ini.
■Aku juga suka cara bagaimana buku ini memadukan sejarah dengan fantasi. Kuang mengambil inspirasi dari peristiwa nyata, seperti Perang Tiongkok-Jepang Kedua dan Pembantaian Nanjing, lalu merangkainya dengan elemen fantasi. Hasilnya adalah dunia yang terasa familier sekaligus unik.
■Hal lain yang membuat buku ini begitu istimewa adalah eksplorasi tema-tema mendalam dan relevan. Buku ini bukan sekadar tentang perang dan sihir, tetapi juga mengajak kita merenungkan hal-hal seperti harga yang harus dibayar untuk kekuasaan, bagaimana trauma mengubah seseorang, dan apa artinya membuat pilihan-pilihan yang mustahil.
■Salah satu aspek The Poppy War yang paling tidak bisa dilupakan adalah kejujurannya dalam menggambarkan perang. Tidak ada romantisasi atau pertempuran yang diglorifikasi, hanya kenyataan pahit dan menyakitkan tentang dampak perang terhadap individu dan masyarakat.
■Tentu saja, tulisan Kuang sendiri luar biasa. Deskripsinya membuat dunia dalam cerita terasa begitu hidup, sementara alurnya berhasil menjaga ketertarikan pembaca dari awal hingga akhir. World buildingnya juga sangat baik, dengan budaya, sejarah, dan magic system yang dikembangkan secara mendetail dan terintegrasi sempurna dalam cerita.
■Hal lain yang aku sukai dari The Poppy War adalah bagaimana buku ini menunjukkan kesenjangan antara teori dan kenyataan. Rin mempelajari berbagai strategi militer di sekolah, tetapi saat ia benar-benar terjun ke medan perang, ia menyadari bahwa tidak ada yang bisa mempersiapkannya untuk menghadapi kekacauan dan kebrutalan pertempuran sesungguhnya. Ia tidak memiliki pengalaman nyata, tidak punya arah yang jelas, dan harus mencari tahu sendiri seiring berjalannya waktu. Menurutku, ini terasa sangat relevan, karena mengingatkan aku pada pengalaman pribadi setelah lulus kuliah. Aku telah mempelajari banyak hal, tetapi saat memasuki dunia nyata, aku merasa sama sekali tidak siap.
■Aku suka bagaimana buku ini menantang trope fantasi tradisional. Tidak ada pahlawan atau penjahat yang jelas, hanya orang-orang yang membuat keputusan berdasarkan keadaan mereka. The Poppy War menolak untuk terjebak dalam narasi "baik melawan jahat" yang klise, dan itulah yang membuatnya begitu menyegarkan. Buku ini tidak dapat diprediksi, dan berbeda dari buku fantasi lain yang pernah aku baca.)
CONCLUSION
The Poppy War is unlike typical fantasy stories, it doesn’t follow the usual “good versus evil” formula. Instead, R.F. Kuang mixes real history with a dark, morally complicated story that dives into themes like power, war, trauma, and identity, and makes us question what’s right and wrong when survival is at stake. It doesn’t give easy answers, and that’s what makes it so powerful. What really makes The Poppy War unforgettable is how raw and unfiltered it is. It shows the true cost of ambition and the brutal realities of war without sugarcoating anything. The characters feel real, the world is incredibly immersive, and the story pulls you in from the very beginning. It’s a book with an experience that challenges you to think about history, human nature, and the choices people make when pushed to their limits.
(The Poppy War bukanlah cerita fantasi biasa. Buku ini tidak mengikuti formula klise "baik melawan jahat". Sebaliknya, R.F. Kuang menyatukan sejarah nyata dengan narasi yang gelap dan penuh kompleksitas moral, yang menyelami tema-tema seperti kekuasaan, perang, trauma, dan identitas. Buku ini memaksa kita untuk mempertanyakan batasan antara benar dan salah ketika yang dipertaruhkan adalah kelangsungan hidup. Tidak ada jawaban mudah yang diberikan, dan justru itulah yang membuatnya begitu kuat. Yang benar-benar membuat The Poppy War tak terlupakan adalah keberaniannya dalam menyajikan kenyataan secara mentah dan tanpa filter. Buku ini menunjukkan harga sebenarnya dari ambisi dan kebrutalan perang tanpa menutup-nutupi apa pun. Karakter-karakternya terasa begitu nyata, dunianya dibangun dengan detail, dan ceritanya langsung menarik kita sejak halaman pertama. Ini adalah buku yang menantang kita untuk merenungkan sejarah, sifat manusia, serta pilihan-pilihan yang dibuat seseorang ketika mereka didorong hingga batas kemampuan mereka.)
0 Comments
don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!
Note: only a member of this blog may post a comment.