A Man Called Ove by Fredrik Backman is one of those books that surprises you. At first, it seems like a simple story about a grumpy old man who wants nothing to do with the world. He’s dealing with the loss of his wife and struggling to find a reason to keep going, especially now that he’s retired. At first, he seems set in his ways, constantly annoyed by everyone around him. But as the story unfolds, we get to see his past, his strict sense of right and wrong, and even his attempts to end his own life. But, life won’t let Ove be alone. A lively family moves in next door, and no matter how much he tries to push them away, they refuse to give up on him. Slowly, through a series of unexpected friendships and small but meaningful moments, Ove starts to open up. His tough exterior cracks, revealing a man who just wants to love and be loved.
(A Man Called Ove oleh Fredrik Backman adalah salah satu buku yang akan mengejutkan kita. Awalnya, buku ini tampak seperti cerita sederhana tentang seorang lelaki tua pemarah yang tidak ingin berurusan dengan dunia. Ia menghadapi kehilangan istrinya dan berjuang untuk menemukan alasan agar tetap bertahan, terutama sekarang setelah ia pensiun. Awalnya, ia tampak keras kepala, terus-menerus merasa terganggu oleh semua orang di sekitarnya. Namun seiring berjalannya cerita, kita dapat melihat masa lalunya, pandangannya yang kaku tentang benar dan salah, dan bahkan usahanya untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Namun, hidup tidak akan membiarkan Ove sendirian. Sebuah keluarga yang ceria pindah ke sebelah rumahnya, dan tidak peduli seberapa keras ia mencoba menjauh, mereka menolak untuk menyerah padanya. Perlahan, melalui serangkaian persahabatan yang tak terduga dan momen-momen kecil namun bermakna, Ove mulai terbuka. Penampilannya yang tangguh retak, memperlihatkan seorang pria yang hanya ingin mencintai dan dicintai.)
BOOK INFORMATION
Title : A Man Called Ove
Original Title : En man som heter Ove
Author : Fredrik Backman
Translator : Henning Koch
Publisher : Atria Books
Language : English
Length : 337 pages
Released : July 15, 2014
Read : May 10-27, 2021
GR Rating : 4.38
My rating :
4.50
BOOK REVIEW
If I had to sum up A Man Called Ove by Fredrik Backman, I’d say it’s a story that sneaks up on you. At first, it’s about a grumpy old man who seems impossible to like. But as you get deeper into this book, you start to see that Ove isn’t just bitter for no reason, he’s lonely, grieving, and struggling to find meaning in his life. What makes this story so powerful is how it shows the impact of human connection. Ove may start off wanting nothing to do with his neighbors, but through unexpected friendships, especially with Parvaneh and her family, he slowly rediscovers warmth and purpose.
One of the most emotional parts of this book is how it deals with loss and grief. Ove’s love for his late wife, Sonja, is at the heart of everything he does. Losing her left a huge hole in his life, and the book doesn’t sugarcoat how painful that kind of grief can be. Instead of moving on easily, Ove struggles, getting stuck in his routines and shutting people out. His journey through grief feels real, messy, frustrating, and deeply personal. But as the story unfolds, we see that healing doesn’t mean forgetting, it means finding new reasons to keep going.
Another favorite thing about this book is how much this book says about loneliness. At the start, Ove is completely closed off, convinced he doesn’t need anyone. But as people keep showing up for him, offering small acts of kindness, pushing their way into his life, he starts to change. It’s a reminder of how much we all need human connection, even when we don’t want to admit it. The way Ove goes from being isolated to having a found family is one of the most heartwarming transformations I’ve ever read.
What also makes this book special is how it talks about real-world issues, like immigration and prejudice. At first, Ove has some outdated views and isn’t exactly welcoming to outsiders. But as he gets to know Parvaneh, Adrian, and Mirsad, he starts to see beyond his own biases. This book shows that people can change when they actually take the time to understand each other. It’s a subtle but powerful message about acceptance and seeing people for who they really are, not just where they come from.
A Man Called Ove is the kind of book that makes you laugh, cry, and think about the people in your own life. It’s about grief, love, second chances, and the power of connection. It reminds us that even the most stubborn, closed-off people have stories worth telling, and sometimes, all they need is a little push to let others in.
(Jika aku harus meringkas A Man Called Ove oleh Fredrik Backman, aku akan mengatakan bahwa ini adalah kisah yang mengejutkan. Awalnya, kisah ini tentang seorang lelaki tua pemarah yang tampaknya mustahil disukai. Namun, saat kita mendalami buku ini lebih dalam, kita mulai melihat bahwa Ove tidak hanya merasa getir tanpa alasan, ia kesepian, berduka, dan berjuang untuk menemukan makna dalam hidupnya. Yang membuat kisah ini begitu kuat adalah bagaimana ia menunjukkan dampak dari hubungan antarmanusia. Ove mungkin awalnya tidak ingin berhubungan dengan tetangganya, tetapi melalui persahabatan yang tak terduga, terutama dengan Parvaneh dan keluarganya, ia perlahan menemukan kembali kehangatan dan tujuan hidupnya.
Salah satu bagian paling emosional dari buku ini adalah bagaimana ia menghadapi kehilangan dan kesedihan. Cinta Ove untuk mendiang istrinya, Sonja, merupakan inti dari semua yang ia lakukan. Kehilangan istrinya meninggalkan lubang besar dalam hidupnya, dan buku ini tidak menutup-nutupi betapa menyakitkannya kesedihan semacam itu. Alih-alih melanjutkan hidup dengan mudah, Ove justru berjuang, terjebak dalam rutinitasnya, dan menjauhi orang lain. Perjalanannya melalui kesedihan terasa nyata, berantakan, membuat frustrasi, dan sangat pribadi. Namun seiring berjalannya cerita, kita melihat bahwa penyembuhan tidak berarti melupakan, melainkan menemukan alasan baru untuk terus maju.
Hal favorit lain dari buku ini adalah seberapa banyak buku ini berbicara tentang kesepian. Pada awalnya, Ove benar-benar tertutup, yakin bahwa ia tidak membutuhkan siapa pun. Namun, saat orang-orang terus muncul untuknya, menawarkan tindakan kebaikan kecil, mendorong jalan mereka ke dalam hidupnya, ia mulai berubah. Ini adalah pengingat betapa kita semua membutuhkan hubungan antarmanusia, bahkan saat kita tidak ingin mengakuinya. Cara Ove berubah dari terisolasi menjadi memiliki found family adalah salah satu transformasi paling mengharukan yang pernah aku baca.
Yang juga membuat buku ini istimewa adalah bagaimana ia membahas isu-isu dunia nyata, seperti imigrasi dan prasangka. Pada awalnya, Ove memiliki beberapa pandangan yang ketinggalan zaman dan tidak begitu ramah terhadap orang luar. Namun saat ia mengenal Parvaneh, Adrian, dan Mirsad, ia mulai melihat melampaui biasnya sendiri. Buku ini menunjukkan bahwa orang dapat berubah jika mereka benar-benar meluangkan waktu untuk memahami satu sama lain. Buku ini berisi pesan yang halus namun kuat tentang penerimaan dan melihat orang lain sebagaimana adanya, bukan hanya dari mana mereka berasal.
A Man Called Ove adalah jenis buku yang membuat kita tertawa, menangis, dan memikirkan orang-orang dalam hidup kita sendiri. Buku ini tentang kesedihan, cinta, kesempatan kedua, dan kekuatan koneksi. Buku ini mengingatkan kita bahwa bahkan orang yang paling keras kepala dan tertutup pun memiliki cerita yang layak diceritakan, dan terkadang, yang mereka butuhkan hanyalah sedikit dorongan untuk membiarkan orang lain masuk.)
THINGS I LOVE
■Ove is an unforgettable character. He’s grumpy, stubborn, and set in his ways, but beneath all that, he’s just a man dealing with grief and loneliness. His journey from being a closed-off recluse to someone who learns to care again is incredibly moving. It’s the kind of transformation that feels real and makes you root for him.
■One thing I love about this book is how Fredrik Backman mixes humor with heavy emotions. Even in the most heartbreaking moments, there’s a clever joke or an absurd situation that keeps things from getting too overwhelming. This balance makes the story both touching and enjoyable to read.
■This novel also makes you think about your own life like your values, relationships, and what truly matters. Ove’s story pushes you to reflect on how you treat people and the impact small acts of kindness can have.
■Emotionally, this book is touching. It’s not just a story, but it’s an experience. You feel Ove’s pain, his love for his late wife, his frustration with the world, and his slow journey toward healing. The themes of redemption and transformation make it incredibly powerful, it's one of those books that can make you laugh one moment and tear up the next.
■I also like how the story jumps between past and present. The flashbacks help us understand why Ove is the way he is, which makes him even more relatable. Instead of just telling us about his past, this book lets us experience it, which makes everything feel more personal.
■The side characters are just as important as Ove himself. Each one brings something different to the story, by helping him change in ways he never expected. They show how human connection can shape a person and how even the smallest interactions can leave a lasting impact.
■What makes A Man Called Ove so powerful is how it reflects real life. It deals with loss, grief, loneliness, and change, things we all face at some point.
■Another interesting aspect is the generational gap between Ove and the younger characters. His frustration with technology, different communication styles, and changing work ethics feel so real. It’s a reminder of how much the world changes over time and how difficult but important it is to adapt.
(■Ove adalah karakter yang tak terlupakan. Dia pemarah, keras kepala, dan ngeyel, tetapi di balik semua itu, dia hanyalah seorang pria yang berjuang melawan kesedihan dan kesepian. Perjalanannya dari seorang penyendiri yang tertutup menjadi seseorang yang belajar untuk peduli lagi sangat mengharukan. Transformasi seperti itu terasa nyata dan membuat kita mendukungnya.
■Satu hal yang aku sukai dari buku ini adalah bagaimana Fredrik Backman memadukan humor dengan emosi yang berat. Bahkan di saat-saat yang paling menyayat hati, ada lelucon yang cerdas atau situasi yang tidak masuk akal yang membuat segalanya tidak terlalu membebani. Keseimbangan ini membuat cerita ini menyentuh sekaligus menyenangkan untuk dibaca.
■Novel ini juga membuat kita berpikir tentang kehidupan kita sendiri seperti nilai-nilai, hubungan, dan apa yang benar-benar penting. Kisah Ove mendorong kita untuk merenungkan cara kita memperlakukan orang lain dan dampak dari tindakan kebaikan kecil.
■Secara emosional, buku ini menyentuh. Ini bukan sekadar cerita, tetapi sebuah pengalaman. Kita merasakan kepedihan Ove, cintanya kepada mendiang istrinya, rasa frustrasinya terhadap dunia, dan perjalanannya yang lambat menuju penyembuhan. Tema penebusan dan transformasi membuatnya sangat kuat, ini adalah salah satu buku yang dapat membuat kita tertawa di satu saat dan menangis di saat berikutnya.
■Aku juga suka bagaimana ceritanya beralih antara masa lalu dan masa kini. Flashback ini membantu kita memahami mengapa Ove seperti itu, yang membuatnya semakin relevan. Alih-alih hanya menceritakan masa lalunya, buku ini memungkinkan kita mengalaminya, yang membuat semuanya terasa lebih personal.
■Tokoh-tokoh sampingan sama pentingnya dengan Ove sendiri. Masing-masing membawa sesuatu yang berbeda ke dalam cerita, dengan membantunya berubah dengan cara yang tidak pernah ia duga. Mereka menunjukkan bagaimana hubungan manusia dapat membentuk seseorang dan bagaimana interaksi terkecil sekalipun dapat meninggalkan dampak yang bertahan lama.
■Yang membuat A Man Called Ove begitu kuat adalah bagaimana ia mencerminkan kehidupan nyata. Buku ini membahas tentang kehilangan, kesedihan, kesepian, dan perubahan, hal-hal yang kita semua hadapi di beberapa titik.
■Aspek menarik lainnya adalah kesenjangan generasi antara Ove dan karakter yang lebih muda. Rasa frustrasinya terhadap teknologi, gaya komunikasi yang berbeda, dan perubahan etika kerja terasa begitu nyata. Hal ini mengingatkan kita betapa dunia berubah seiring waktu dan betapa sulit tetapi penting untuk beradaptasi.)
CONCLUSION
A Man Called Ove is an incredible story that really shows what it means to be human. It’s about love, friendship, loss, and how the people around us can change our lives in ways we never expect. The characters feel real, with all their flaws and struggles, and that makes their journey even more powerful. What I love most is how this book shows that small acts of kindness can make a huge difference. Even when someone seems distant or difficult, they might just need a little connection to bring them back to life. And beyond the personal story, this book also touches on real social issues, which make it feel even more relevant to the world we live in today. Fredrik Backman reminds us that no matter how different we are, we all share the same emotions like grief, love, loneliness, and hope. This book is a beautiful reminder that with empathy and understanding, we can make the world a little kinder.
(A Man Called Ove adalah kisah luar biasa yang benar-benar menunjukkan apa artinya menjadi manusia. Kisah ini tentang cinta, persahabatan, kehilangan, dan bagaimana orang-orang di sekitar kita dapat mengubah hidup kita dengan cara yang tidak pernah kita duga. Tokoh-tokohnya terasa nyata, dengan semua kekurangan dan perjuangan mereka, dan itu membuat perjalanan mereka semakin berkesan. Yang paling aku sukai adalah bagaimana buku ini menunjukkan bahwa tindakan kebaikan kecil dapat membuat perbedaan besar. Bahkan ketika seseorang tampak jauh atau sulit, mereka mungkin hanya membutuhkan hubungan untuk menghidupkannya kembali. Dan di luar kisah pribadi, buku ini juga menyentuh masalah sosial nyata, yang membuatnya terasa lebih relevan dengan dunia tempat kita tinggal saat ini. Fredrik Backman mengingatkan kita bahwa tidak peduli seberapa berbedanya kita, kita semua berbagi emosi yang sama seperti kesedihan, cinta, kesepian, dan harapan. Buku ini adalah pengingat yang indah bahwa dengan empati dan pengertian, kita dapat membuat dunia sedikit lebih baik.)
0 Comments
don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!
Note: only a member of this blog may post a comment.