The School for Good and Evil by Soman Chainani takes the classic fairy tale idea of good vs. evil and radically changes it. This story Sophie and Agatha, who live in a small village where, every few years, two kids are taken to a magical school where one trained to become a hero, the other a villain. Sophie, obsessed with beauty and all things pink, is convinced she’s destined for the School for Good, while Agatha, who prefers dark clothes and solitude, seems like the obvious choice for the School for Evil. But when Sophie lands in Evil and Agatha in Good, their entire view of themselves and each other shatters.
(The School for Good and Evil oleh Soman Chainani mengambil ide klasik dongeng tentang pertarungan antara baik dan jahat, lalu mengubahnya secara radikal. Cerita ini mengisahkan Sophie dan Agatha, yang tinggal di sebuah desa kecil. Setiap beberapa tahun, dua anak dari desa itu dibawa ke sekolah ajaib, di mana satu dilatih untuk menjadi pahlawan dan yang lainnya jadi penjahat. Sophie, yang terobsesi dengan kecantikan dan segala hal berwarna pink, yakin dia ditakdirkan untuk masuk Sekolah Baik. Sementara Agatha, yang lebih suka pakaian gelap dan kesendirian, sepertinya jelas cocok untuk Sekolah Jahat. Tapi ketika Sophie justru masuk Sekolah Jahat dan Agatha malah masuk Sekolah Baik, pandangan mereka tentang diri sendiri dan satu sama lain pun hancur berantakan.)
BOOK INFORMATION
Title :
The School for Good and Evil
Author :
Soman Chainani
Translator : Kartika Sofyan
Publisher : Bhuana Sastra
Language : Indonesian
Length : 588 pages
Released : January 1, 2014
Read : July 1 - 3, 2021
GR Rating : 3.99
My rating :
4.00
BOOK REVIEW
Fairy tales have always taught us that good and evil are simple, but what if they’re not? Everything we thought we knew about fairy tales gets a fresh perspective in The School for Good and Evil by Soman Chainani. Normally, heroes are noble and kind, and villains are wicked and cruel. Simple, right? Not here. This book makes us question everything. Just because someone looks the part doesn’t mean they are the part. A golden-haired, smiling princess might have a heart full of poison, while the gloomy outcast in all black might be the most loyal person in the room. It made us think about how, in real life, people are often judged by their appearance or first impressions when what really matters is who they are underneath.
This story follows two girls, Sophie and Agatha, who live in a village surrounded by a mysterious forest. Sophie dreams of escaping her boring life and believes she’s destined for something greater, like being a fairy-tale princess. Agatha, on the other hand, is shunned by the villagers, who assume she and her mother are witches. Every year, children are taken from the village by someone from a school beyond the forest, one destined for the School for Good and the other for the School for Evil. The Good School is where princes, princesses, and fairies train to be heroes, while the Evil School shapes witches, monsters, and villains. Sophie is desperate to be chosen for the Good School and even befriends Agatha, because she thinks it will make her look even more virtuous. But when the time comes, things don’t go as planned, Sophie is thrown into the School for Evil, while Agatha is sent to the School for Good.
One of the strongest aspects of this book is how it examines the black-and-white morality often found in fairy tales. The Good characters are beautiful, rich, and destined for a happy ending with a prince, while the Evil ones are ugly, cruel, and doomed to misery. It’s an interesting reflection on how traditional stories (and even some cultures) tend to see the world in extremes, good or bad, hero or villain, with no room for anything in between. It also questions the old idea that beauty equals goodness. How many stories have we seen where the kind princess is beautiful and the villain is ugly? Too many. This book breaks down that overused idea and shows that real goodness isn’t about looks, but it’s about the choices we make. This is definitely the kind of fairy tale I want to read.
This book also dives into one of my favorite themes: fate vs. free will. Sophie and Agatha are thrown into roles they never expected, and suddenly, they have to ask themselves: Are we stuck being what the world says we are, or can we rewrite our own stories? I found that question especially relatable because, let’s be honest, people are constantly pressured to fit into boxes whether it’s based on gender, beauty standards, or family expectations. But just like Sophie and Agatha, we don’t have to let others define us. This book is a reminder that we get to decide who we are, not society, not tradition, not a label someone slaps on us.
At its core, this book isn’t just about heroes and villains, it’s also about friendship. Sophie and Agatha’s bond is the real heart of the story, and their time at the school pushes it to the limit. They deal with everything real friends go through like jealousy, misunderstandings, moments of doubt, but what makes their relationship stand out is how messy and real it feels. This book doesn’t sugarcoat friendship, instead it shows that true loyalty means not giving up even when things get complicated. As they struggle to figure out where they belong, they also have to decide if their friendship is strong enough to survive the chaos.
(Dongeng selalu mengajarkan kita bahwa baik dan jahat itu sangat mudah dibedakan, tapi bagaimana jika tidak demikian? Semua yang kita pikir kita tahu tentang dongeng mendapatkan perspektif baru dalam The School for Good and Evil oleh Soman Chainani. Biasanya, pahlawan digambarkan mulia dan baik, sedangkan penjahat itu jahat dan kejam. Simpel, kan? Tapi tidak di sini. Buku ini membuat kita mempertanyakan segalanya. Hanya karena seseorang terlihat seperti peran tertentu, bukan berarti mereka memang seperti itu. Putri berambut pirang yang selalu tersenyum mungkin memiliki hati penuh racun, sementara si penyendiri yang selalu memakai pakaian hitam bisa jadi orang yang paling setia di sana. Buku ini membuat kita berpikir tentang bagaimana, dalam kehidupan nyata, orang-orang sering dinilai dari penampilan atau kesan pertama, padahal yang penting adalah siapa mereka sebenarnya di dalam.
Cerita ini mengisahkan dua gadis, Sophie dan Agatha, yang tinggal di sebuah desa yang dikelilingi oleh hutan misterius. Sophie bermimpi untuk melarikan diri dari kehidupannya yang membosankan dan yakin bahwa dia ditakdirkan untuk sesuatu yang lebih besar, seperti menjadi putri dongeng. Di sisi lain, Agatha dijauhi oleh penduduk desa, yang menganggap dia dan ibunya adalah penyihir. Setiap tahun, dua anak dari desa itu diambil oleh seseorang dari sekolah di balik hutan, satu ditakdirkan untuk Sekolah Baik dan yang lainnya untuk Sekolah Jahat. Sekolah Baik adalah tempat para pangeran, putri, dan peri berlatih untuk menjadi pahlawan, sementara Sekolah Jahat membentuk penyihir, monster, dan penjahat. Sophie sangat ingin dipilih untuk Sekolah Baik dan bahkan berteman dengan Agatha, karena dia pikir itu akan membuatnya terlihat lebih berbudi luhur. Tapi ketika waktunya tiba, segalanya tidak berjalan sesuai rencana. Sophie justru masuk ke Sekolah Jahat, sementara Agatha dikirim ke Sekolah Baik.
Salah satu aspek terkuat dari buku ini adalah bagaimana ia mengkaji moralitas hitam-putih yang sering ditemukan dalam dongeng. Karakter Baik digambarkan cantik, kaya, dan ditakdirkan untuk akhir bahagia bersama pangeran, sementara karakter Jahat digambarkan buruk rupa, kejam, dan ditakdirkan untuk kesengsaraan. Ini menjadi refleksi menarik tentang bagaimana cerita-cerita tradisional (bahkan beberapa budaya) cenderung melihat dunia secara ekstrem: baik atau buruk, pahlawan atau penjahat, tanpa ruang untuk sesuatu yang berada di tengah-tengah. Buku ini juga mempertanyakan anggapan lama bahwa kecantikan sama dengan kebaikan. Berapa banyak cerita yang kita lihat di mana putri yang baik itu cantik dan penjahatnya jelek? Terlalu banyak. Buku ini menghancurkan ide yang terlalu sering dipakai itu dan menunjukkan bahwa kebaikan sejati bukan tentang penampilan, tapi tentang pilihan yang kita buat. Inilah jenis dongeng yang selalu ingin aku baca.
Buku ini juga menyelami salah satu tema favoritku yaitu takdir vs. kehendak bebas. Sophie dan Agatha dilemparkan ke dalam peran yang tidak pernah mereka duga, dan tiba-tiba, mereka harus bertanya pada diri sendiri: Apakah kita terjebak menjadi apa yang dunia katakan tentang kita, atau bisakah kita menulis ulang cerita kita sendiri? Menurutku pertanyaan itu sangat relevan karena, jujur saja, orang-orang sering merasa tertekan untuk masuk ke dalam kategori tertentu, entah itu berdasarkan gender, standar kecantikan, atau ekspektasi keluarga. Tapi seperti Sophie dan Agatha, kita tidak harus membiarkan orang lain mendefinisikan kita. Buku ini adalah pengingat bahwa kitalah yang memutuskan siapa diri kita, bukan masyarakat, bukan tradisi, bukan label yang ditempelkan orang lain pada kita.
Pada intinya, buku ini bukan hanya tentang pahlawan dan penjahat, tapi juga tentang persahabatan. Ikatan antara Sophie dan Agatha adalah inti sebenarnya dari cerita ini, dan waktu mereka di sekolah menguji persahabatan itu sampai ke batasnya. Mereka menghadapi segala hal yang dialami oleh persahabatan yang sesungguhnya, seperti kecemburuan, kesalahpahaman, dan momen-momen keraguan. Tapi yang membuat hubungan mereka menonjol adalah betapa berantakan dan nyatanya persahabatan itu terasa. Buku ini tidak mengidealkan persahabatan, malah menunjukkan bahwa kesetiaan sejati berarti tidak menyerah bahkan ketika segalanya menjadi membingungkan. Sementara mereka berusaha mencari tahu di mana tempat mereka sebenarnya, mereka juga harus memutuskan apakah persahabatan mereka cukup kuat untuk bertahan dalam kekacauan ini.)
THINGS I LIKE
■ This book doesn’t just borrow from fairy tales, because it completely reverses expectations. Instead of a predictable good vs. evil battle, it makes you question what those words actually mean. Heroes aren’t always good, villains aren’t always bad, and the lines between them get really blurry. It’s way more interesting than your typical fairy tale because you never really know what’s coming next.
■ Agatha and Sophie are far from perfect, and that’s exactly why I love them. They make bad decisions, doubt themselves, and sometimes act selfishly, just like real people. Watching them struggle with their identities and grow over time made this story feel so much more personal. It’s refreshing to have characters who aren’t just good or evil but actually complicated.
■ The School for Good and Evil feels like a real place. From the way the two schools are designed to the magical classes and interesting traditions, the worldbuilding is rich and immersive. The whole idea of students being placed into Good or Evil based on mysterious rules is definitely its main strength.
■ On the surface, this is a fantasy book, but it’s also packed with deeper messages. It challenges ideas about morality, identity, and whether people are born into certain roles or if they can change their own fate. It makes us think about how society judges people based on appearances and labels, something that happens all the time in real life.
■ So many fantasy books focus on love stories, but this one puts friendship front and center. Sophie and Agatha’s relationship is messy, complicated, and filled with misunderstandings, but that’s what makes it so real. The book shows that friendship can be just as powerful as romantic love, if not more. That’s something I don’t see enough of in fantasy, and I loved every second of it.
■ Surprisingly, I really like the ending. It wasn’t the predictable, happily-ever-after fairy-tale ending I expected, which made it feel fresh and satisfying. I think the way the story came full circle was one of this book’s biggest strengths. It answered enough questions to be satisfying while leaving just enough mystery to make me curious about the next book in this series.
(■ Buku ini tidak hanya sekadar meminjam elemen-elemen dari dongeng, karena ia benar-benar membalikkan ekspektasi kita. Bukannya menampilkan pertarungan klise antara baik melawan jahat, buku ini membuat kita mempertanyakan apa arti sebenarnya dari kata baik dan jahat. Pahlawan tidak selalu baik, penjahat tidak selalu jahat, dan batas antara keduanya menjadi sangat kabur. Ini jauh lebih menarik daripada dongeng yang biasanya karena kita tidak pernah benar-benar bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
■ Agatha dan Sophie jauh dari sempurna, dan justru itulah yang membuatku menyukai mereka. Mereka membuat keputusan yang salah, meragukan diri sendiri, dan terkadang bertindak egois, seperti orang-orang pada umumnya. Melihat mereka menghadapi kesulitan dengan identitas mereka dan bertumbuh seiring waktu membuat cerita ini terasa sangat personal. Rasanya menyegarkan sekali melihat karakter yang tidak hanya hitam atau putih, tapi benar-benar kompleks.
■ The School for Good and Evil terasa seperti tempat yang nyata. Mulai dari desain dua sekolah tersebut, kelas-kelas yang ajaib, hingga tradisi-tradisi uniknys, dunia yang dibangun sangat kaya dan imersif. Gagasan tentang siswa yang ditempatkan di Sekolah Baik atau Jahat berdasarkan aturan yang misterius jelas menjadi kekuatan utama cerita ini.
■ Di permukaan, ini adalah buku fantasi, tapi di dalamnya juga penuh dengan pesan-pesan yang dalam. Buku ini menantang pemikiran tentang moralitas, identitas, dan apakah seseorang terlahir untuk memainkan peran tertentu atau bisa mengubah takdirnya sendiri. Buku ini membuat kita berpikir tentang bagaimana masyarakat sering menilai orang berdasarkan penampilan dan label, yang merupakan sesuatu yang sering terjadi dalam kehidupan nyata.
■ Banyak buku fantasi yang fokus pada kisah cinta, tapi buku ini justru menempatkan persahabatan sebagai pusat cerita. Hubungan Sophie dan Agatha ini berantakan, rumit, dan dipenuhi kesalahpahaman, tapi justru itulah yang membuatnya terasa nyata. Buku ini menunjukkan bahwa persahabatan bisa sama kuatnya, bahkan lebih kuat, dibanding cinta romantis. Inilah sesuatu yang jarang kulihat dalam cerita fantasi, dan aku suka setiap detailnya.
■ Anehnya, aku sangat suka ending-nya. Ini bukan akhir dongeng happily ever after yang bisa ditebak seperti yang aku kira, dan justru itu yang membuatnya terasa segar dan memuaskan. Menurutku, cara cerita ini disimpulkan menjadi salah satu kekuatan terbesar buku ini. Cukup banyak pertanyaan yang terjawab dengan memuaskan, tapi masih ada sedikit misteri yang membuatku penasaran dengan buku selanjutnya dalam seri ini.)
THE DRAWBACK
I really enjoyed the first half of the book. But then came the part where Sophie and Agatha had to compete for a prince in the Good School, and that’s when my interest started to dip. Sophie and Tedros’s characters felt inconsistent because they changed their minds so fast that I had to remind myself, well, they are teenagers, after all. I also found it harder to connect with Sophie’s perspective as the story progressed, while Agatha remained steady and continued to grow in a way that made sense.
(Aku sangat menikmati separuh pertama buku ini. Tapi kemudian muncul bagian di mana Sophie dan Agatha harus bersaing untuk mendapatkan seorang pangeran di Sekolah Baik, dan di situlah minatku mulai menurun. Karakter Sophie dan Tedros terasa tidak konsisten karena mereka berubah pikiran begitu cepat, sampai-sampai aku harus mengingatkan diri sendiri, ya, mereka memang masih remaja. Aku juga merasa semakin sulit untuk memahami perspektif Sophie seiring berjalannya cerita, sementara Agatha tetap stabil dan terus berkembang dengan cara yang masuk akal.)
CONCLUSION
The School for Good and Evil is a modern fairy tale that takes everything we think we know about good and evil and gives it a whole new spin. Instead of the usual heroes are good, villains are bad formula, it digs into the messy, complicated reality of morality, identity, and friendship. I love how it challenges outdated ideas, especially the belief that beauty equals goodness, and how it proves that people are never just one thing. Sophie and Agatha’s journey is unpredictable, emotional, and filled with learning and evolving, which makes this story so much more than just a fantasy adventure. If you love fairy tales but want something with a fresh, modern twist that actually makes you think about it, this book is absolutely worth reading!
(The School for Good and Evil adalah sebuah dongeng modern yang mengambil semua yang ketahui tentang baik dan jahat, lalu memberinya sentuhan baru. Bukannya mengikuti formula biasa di mana pahlawan itu baik dan penjahat itu jahat, buku ini menyelami realitas yang berantakan dan rumit dari moralitas, identitas, dan persahabatan. Aku suka bagaimana buku ini menantang ide-ide ketinggalan zaman, terutama kepercayaan bahwa kecantikan sama dengan kebaikan, dan bagaimana buku ini membuktikan bahwa manusia tidak pernah bisa disederhanakan menjadi satu hal saja. Perjalanan Sophie dan Agatha tidak terduga, penuh emosi, serta dipenuhi dengan pembelajaran dan perkembangan, yang membuat cerita ini jauh lebih dari sekadar petualangan fantasi. Jika kamu suka dongeng tapi ingin sesuatu yang segar, modern, dan benar-benar membuatmu berpikir, buku ini sangat layak untuk dibaca!)
0 Comments
don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!
Note: only a member of this blog may post a comment.