When Marnie Was There by Joan G. Robinson | Book Review


When Marnie Was There by Joan G. Robinson is a touching and mysterious story about loneliness, friendship, and the way we see ourselves. It follows Anna, a quiet and withdrawn girl who often feels like an outsider. When she’s sent to a seaside village to improve her health, she stumbles upon The Marsh House, a strange old mansion near the salt marshes. There, she meets Marnie, a charming and mysterious girl who seems to understand Anna in a way no one else does. But as their friendship deepens, so do the questions: Who is Marnie, really? Why does she seem to appear and disappear like a dream? And what secrets are hidden within The Marsh House?

(When Marnie Was There oleh Joan G. Robinson adalah cerita yang menyentuh dan penuh misteri tentang kesepian, persahabatan, dan cara kita melihat diri sendiri. Kisahnya mengikuti Anna, seorang gadis pendiam dan tertutup yang sering merasa tidak cocok dengan orang-orang di sekitarnya. Waktu dia dikirim ke desa tepi laut untuk kesehatannya, dia tidak sengaja menemukan The Marsh House, rumah tua aneh di dekat rawa payau. Di sana, dia bertemu Marnie, seorang gadis ceria tapi misterius yang seolah bisa memahami Anna lebih dari siapa pun. Tapi semakin dekat keduanya, semakin banyak pertanyaan yang muncul: Sebenarnya, siapa Marnie? Kenapa dia muncul dan menghilang seperti mimpi? Dan rahasia apa yang sebenarnya tersembunyi di The Marsh House?)


BOOK REVIEW 

When Marnie Was There is a story about loneliness, not just being alone, but the kind that settles deep inside us and shapes how we see ourselves, the walls we build to keep others out, and the rare, life-changing moments when someone sees past them and truly understands us. Anna is a foster child who believes she doesn’t belong anywhere. She doesn’t just feel lonely, she feels unwanted, like she exists on the outside of life, watching everyone else fit into places she never could. Her isolation isn’t just about having no friends, but it’s a deep, internal struggle, a belief that she is fundamentally different. This book captures that kind of loneliness in such a raw, honest way, by showing how it’s not just about being alone, but about the way we convince ourselves we’re unworthy of love.  

Then, everything shifts. Anna is sent to the countryside, where she feels even more like an outsider, until she meets Marnie. Marnie is unlike anyone Anna has ever known. She doesn’t question why Anna is quiet or withdrawn, she simply accepts her. And for the first time, Anna experiences a friendship that feels effortless, safe, and real. Their bond is almost surreal, as if they were meant to find each other. Through Marnie, Anna begins to feel something she’s never allowed herself to believe in before: that she matters. 

What makes this story even more powerful is how it explores the fear of rejection. Anna has spent so long shutting herself off, convinced that if she doesn’t let anyone close, she won’t get hurt. But through her friendship with Marnie, she realizes that vulnerability isn’t weakness because it’s what allows us to form real relationships. And the most moving part? Marnie has her own struggles, too. She isn’t some perfect, all-knowing presence in Anna’s life, because she’s just as lost in her own way. 

Another thing I love about this book is how it challenges the idea that our worth is based on how others see us. Anna spends so much time believing that she needs to change in order to be accepted, but her journey proves that self-worth has to come from within. Before she can truly connect with others, she has to accept herself first. That’s such an important message, especially for anyone who has ever felt out of place or struggled with self-doubt.

This story also makes it clear that people cope with pain in different ways. Anna withdraws, pushing people away, while Marnie expresses her emotions more freely. Their contrasting ways of dealing with emotions show that there’s no single right way to heal but one thing is certain that having even one person who understands you can make all the difference. That’s what makes this book so powerful. It’s not just about loneliness, it’s also about the hope that comes when someone reaches out and reminds you that you’re not alone.

Anna’s struggle with belonging isn’t just about making friends, but it’s about redefining what family truly means. From the start, she's convinced that she has no real place in the world. But as she uncovers the truth about Marnie, she begins to understand that family isn’t just about blood, it’s also about love, loyalty, and the people who choose to stand by us. This book challenges the traditional idea of family, that it can be found in unexpected places. By the end, Anna realizes she isn’t as alone as she thought. This is a reminder that sometimes, the people who love us the most aren’t the ones we’re born to, but the ones who choose us.  

What makes this book even more memorable is its exploration of how certain relationships leave longer influence on us. Some friendships, no matter how brief or unconventional, shape us in ways we don’t always realize. Marnie is the warmth, the acceptance, and the love that Anna has been missing. And yet, this book makes it clear that healing isn’t just about finding someone else to rely on. Marnie helps Anna see her own worth, but of course, Anna has to believe in herself. Marnie represents the missing piece of Anna’s heart, but Anna is the one who puts herself back together.  

And finally, one of the most moving aspects of this book is how Anna learns to accept loss and move forward. Marnie isn’t meant to stay forever, and in saying goodbye, Anna is letting go of the fear, the sadness, and the emotional barriers she’s carried for so long. She steps into a future where she’s no longer defined by loneliness, where she’s willing to accept love and connection. It’s a bittersweet but a hopeful message that even when we lose something or someone, we can find a stronger version of ourselves.

(When Marnie Was There bukan cuma cerita tentang kesepian dalam arti sendirian, tapi lebih ke rasa sepi yang tertanam dalam diri kita, yang membentuk cara kita melihat diri sendiri, tembok yang kita bangun buat menjauh dari orang lain, dan momen langka yang bisa mengubah hidup saat ada seseorang yang benar-benar melihat dan memahami kita. Anna adalah anak asuh yang merasa tidak punya tempat di dunia ini. Dia tidak cuma kesepian, tapi juga merasa tidak diinginkan, seolah dia cuma jadi penonton hidup orang lain tanpa pernah benar-benar jadi bagian dari itu. Keterasingannya bukan sekadar karena tidak punya teman, tapi lebih ke konflik dalam dirinya, yaitu keyakinan bahwa dia berbeda dari semua orang dan mungkin memang ditakdirkan untuk sendirian. Buku ini benar-benar menggambarkan perasaan itu dengan jujur dan menyentuh, dengan menunjukkan bahwa kesepian bukan cuma soal tidak ada orang di sekitar kita, tapi lebih ke cara kita meyakinkan diri sendiri bahwa kita tidak layak dicintai.  

Lalu segalanya berubah ketika Anna dikirim ke pedesaan, tempat di mana dia malah makin merasa seperti orang asing. Sampai akhirnya dia bertemu Marnie. Marnie berbeda dari siapa pun yang pernah Anna kenal. Dia tidak mempertanyakan kenapa Anna pendiam atau tertutup, dia cuma menerima Anna apa adanya. Dan untuk pertama kalinya, Anna merasakan persahabatan yang terasa ringan, aman, dan nyata. Hubungan mereka hampir terasa seperti takdir, seperti mereka memang ditakdirkan buat menemukan satu sama lain. Lewat Marnie, Anna mulai merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dia percaya yaitu bahwa dia berharga.  

Yang membuat cerita ini semakin kuat adalah bagaimana buku ini mengeksplorasi ketakutan akan penolakan. Anna sudah terlalu lama menutup diri, berpikir kalau dia tidak membiarkan siapa pun masuk, dia tidak akan terluka. Tapi lewat persahabatannya dengan Marnie, dia mulai sadar kalau sisi rapuhnya itu bukan kelemahan, justru itu yang membuat kita bisa membentuk hubungan yang sebenarnya. Dan yang paling mengharukan? Marnie juga punya luka dan ketakutan sendiri. Dia bukan sosok sempurna yang tahu segalanya karena dia juga sama bingungnya, cuma dalam cara yang berbeda.  

Satu hal lagi yang aku suka dari buku ini adalah bagaimana dia menantang anggapan bahwa seberapa berharganya kita ditentukan oleh bagaimana orang lain melihat kita. Anna terlalu lama percaya kalau dia harus berubah supaya bisa diterima. Tapi perjalanannya di buku ini menunjukkan bahwa perasaan berharga itu harus datang dari dalam. Sebelum dia bisa benar-benar menjalin hubungan dengan orang lain, dia harus menerima dirinya sendiri dulu. Ini pesan yang sangat penting, terutama buat siapa pun yang pernah merasa tidak diterima atau mengalami kesulitan saat menghadapi keraguan pada diri sendiri.

Buku ini juga menunjukkan kalau setiap orang punya cara berbeda dalam menghadapi rasa sakit. Anna memilih menarik diri dan menjauh dari orang lain, sementara Marnie lebih terbuka dalam mengekspresikan emosinya. Perbedaan mereka ini menunjukkan bahwa tidak ada cara yang benar atau salah untuk menyembuhkan diri. Tapi satu hal yang pasti bahwa punya satu orang yang benar-benar memahami kita bisa membuat perbedaan yang besar. Dan itulah yang membuat cerita ini begitu powerful. Ini bukan cuma tentang kesepian, tapi juga tentang harapan, yaitu harapan yang muncul saat ada seseorang yang datang dan meningkatkan kita bahwa kita tidak sendirian.  

Usaha Anna untuk menemukan tempatnya di dunia bukan cuma soal punya teman, tapi juga tentang menemukan makna keluarga yang sebenarnya. Dari awal, dia yakin kalau dia tidak punya tempat di mana pun. Tapi seiring dia mencari tahu siapa Marnie sebenarnya, dia mulai mengerti kalau keluarga itu bukan sekadar soal hubungan darah. Keluarga juga tentang kasih sayang, kesetiaan, dan orang-orang yang memilih untuk tetap ada untuk kita. Buku ini menantang konsep tradisional tentang keluarga dan menunjukkan bahwa keluarga bisa datang dari tempat yang tidak terduga. Pada akhirnya, Anna sadar ternyata dia tidak benar-benar sendirian. Pesan ini berasa banget karena terkadang, orang yang paling sayang sama kita bukanlah yang lahir bersama kita, tapi yang memilih untuk ada buat kita.  

Hal yang membuat buku ini semakin berkesan adalah bagaimana dia menggambarkan bahwa ada hubungan-hubungan tertentu yang membekas di hidup kita, bahkan yang cuma sebentar atau terasa tidak biasa. Beberapa persahabatan, sesingkat apa pun, bisa membentuk diri kita dengan cara yang tidak selalu langsung kita sadari. Marnie adalah kehangatan, penerimaan, dan kasih sayang yang selama ini kurang dalam hidup Anna. Tapi buku ini juga jelas menunjukkan kalau penyembuhan itu bukan cuma soal menemukan orang lain untuk dijadikan sandaran. Marnie memang membantu Anna melihat dirinya dengan cara yang baru, tapi pada akhirnya, Anna sendirilah yang harus percaya pada dirinya sendiri. Marnie mungkin adalah bagian yang selama ini hilang dari hati Anna, tapi yang menyatukan dirinya kembali tetaplah Anna sendiri.  

Dan yang paling bikin nyesek tapi juga indah dari cerita ini adalah bagaimana Anna belajar menerima kehilangan dan terus melangkah maju. Marnie tidak ditakdirkan untuk ada di sana selamanya, dan saat harus mengucapkan selamat tinggal, Anna bukan cuma kehilangan Marnie, tapi juga melepaskan ketakutan, kesedihan, dan tembok emosional yang selama ini dia bangun. Dia akhirnya berani melangkah ke masa depan tanpa terus-terusan terjebak dalam kesepian. Pesan ini terasa bittersweet, tapi juga penuh harapan, bahwa kehilangan itu menyakitkan, tapi dari sana kita bisa tumbuh dan menemukan versi diri kita yang lebih kuat.)


THE FAVORITES

■ One of the things I love most about this book is how vivid and immersive the setting is. The seaside village, the eerie yet beautiful Marsh House, and the ever-changing marshland feel so real. The way they’re described makes everything feel almost dreamlike. More than that, the setting reflects Anna’s emotions, its loneliness mirrors her own, while its beauty hints at the love and connection she’s searching for. The way the environment ties into Anna’s journey makes this story feel even more immersive and meaningful

■ The friendship between Anna and Marnie is one of my favorite parts of this book. It’s deep, intense, a little mysterious, and almost magical. Their bond reminds me of those rare friendships that come into our lives and change us forever. But what makes it even more special is how Anna, who has spent so long shutting people out, slowly starts to open up not just to Marnie, but to others as well. These relationships show how important it is to have people who truly see and accept us. This book really captures how friendship, in all its forms, can heal and transform us.

■ This book also holds my attention with its mystery, fantasy, and deep emotional aspects. As Anna unravels the secrets of The Marsh House and Marnie’s true identity, every new discovery makes it impossible to put this book down.

■ What truly makes this book unforgettable is how deeply it explores emotions. Anna’s loneliness, self-doubt, and longing for belonging feel painfully real. Her journey is about learning to see her own worth and realizing she isn’t as alone as she once thought. I think a lot of people can relate to that feeling of being on the outside looking in, which makes her story so powerful. This book reassures readers that even when we feel alone, meaningful connections are still possible. 

(■ Salah satu hal yang paling aku suka dari buku ini adalah bagaimana setting-nya terasa hidup dan bikin kebawa suasana. Desa kecil di tepi laut, Marsh House yang agak creepy tapi cantik, dan rawa-rawa yang selalu berubah, semuanya digambarkan dengan detail yang membuat kita serasa ada di sana. Suasananya juga punya nuansa dreamy yang kuat. Tapi yang membuatnya makin keren, tempat-tempat ini seakan mencerminkan perasaan Anna. Kesepiannya terasa dalam sunyi dan misteri tempat itu, tapi di balik semuanya, ada keindahan yang menunjukkan bahwa ada harapan, ada cinta, dan ada hubungan yang dia cari. Setting-nya ternyata bukan cuma latar belakang, tapi bagian dari perjalanan emosional Anna, bikin ceritanya semakin mengena.

■ Persahabatan antara Anna dan Marnie adalah salah satu bagian favoritku. Hubungan mereka dalam, intens, penuh misteri, dan rasanya hampir ajaib. Membaca tentang mereka seperti mengingat pertemanan langka yang datang di hidup kita yang membuat perubahan besar. Tapi yang membuatnya makin spesial adalah bagaimana Anna, yang awalnya selalu menjaga jarak dari orang lain, perlahan mulai terbuka. Bukan cuma ke Marnie, tapi juga ke orang-orang di sekitarnya. Buku ini benar-benar menunjukkan betapa berharganya memiliki seseorang yang bisa melihat kita apa adanya dan menerima kita tanpa syarat. Persahabatan, dalam berbagai bentuknya, bisa menyembuhkan dan mengubah kita.

■ Selain itu, buku ini juga membuat aku betah membacanya karena ada perpaduan misteri, fantasi, dan emosi yang kuat. Setiap kali Anna mulai mengungkap rahasia Marsh House dan siapa sebenarnya Marnie, ada rasa penasaran yang membuat kita tidak bisa berhenti membacanya. Setiap petunjuk yang terungkap membuat kita makin ingin tahu, jadi rasanya seru banget buat diikuti.

■ Yang membuat buku ini benar-benar berkesan adalah cara buku ini menggali perasaan Anna dengan begitu dalam. Kesepian, rasa tidak percaya diri, dan keinginan untuk merasa diterima, semuanya terasa nyata dan menyentuh. Perjalanan Anna bukan cuma tentang mencari tahu siapa Marnie, tapi juga tentang memahami dirinya sendiri dan menyadari bahwa dia nggak se-sendiri yang dia kira. Sepertinya banyak orang bisa relate dengan perasaan "ada di luar lingkaran, cuma bisa melihat dari kejauhan" yang Anna rasakan, dan itu yang membuat ceritanya begitu kuat. Buku ini mengingatkan bahwa meskipun kita merasa sendirian, selalu ada kemungkinan untuk menemukan hubungan yang berarti.)


THE DRAWBACKS 

■One thing that didn’t sit right with me was how the story handled forgiveness, especially when it came to Marnie’s actions toward Anna. At one point, Marnie does something that really upsets Anna, and it makes sense that she feels hurt and confused. But later, when Anna tries to understand what happened, she’s given an explanation that doesn’t quite match what she actually saw, Marnie supposedly fainted, so she wasn’t really responsible. This felt like an easy way out instead of a real resolution. Because of that, Anna forgiving Marnie didn’t feel as satisfying as it could have been. I wish there had been a more honest moment where Marnie actually acknowledged what she did instead of relying on an excuse.

■Marnie is a fascinating character, but sometimes, her behavior doesn’t completely make sense. She’s very mysterious, there are moments where I wasn’t sure if she was being completely honest with Anna. It made me question their friendship at times because I kept wondering if there was something Marnie wasn’t telling her. I wish Marnie’s character had been developed a little more clearly from the start. 

■The way this book mixes reality, memories, and imagination creates a dreamlike atmosphere, which I actually love but sometimes, it also makes things hard to follow. The story jumps between Anna’s present life and her time with Marnie, but the transitions aren’t always clear. It’s not always easy to tell what’s real and what might be a dream or vision. I did find myself getting a little lost at times, especially when major moments blurred together too much.

(■ Ada satu hal yang agak kurang sreg buatku, yaitu cara cerita ini menangani soal memaafkan, terutama terkait tindakan Marnie ke Anna. Ada satu momen di mana Marnie melakukan sesuatu yang membuat Anna kesal dan bingung, dan rasanya wajar banget kalau dia marah. Tapi pas Anna mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi, penjelasan yang dia dapat tidak sesuai dengan yang dia lihat langsung. Katanya, Marnie pingsan, jadi dia tidak sadar saat kejadian itu. Jujur, ini terasa seperti jalan keluar yang terlalu gampang dibanding penyelesaian yang lebih dalam. Karena itu, momen Anna memaafkan Marnie jadi kurang memuaskan. Aku harap ada adegan yang lebih jujur di mana Marnie benar-benar mengakui kesalahannya, bukan malah ada alasan yang membuat semuanya terasa tanpa ada konsekuensinya.

■ Marnie sendiri adalah karakter yang menarik, tapi kadang perilakunya membuat bingung. Dia super misterius, dan ada beberapa momen di mana aku tidak yakin dia benar-benar jujur pada Anna. Ini membuat aku sempat ragu dengan persahabatan mereka, soalnya rasanya seperti ada sesuatu yang Marnie sembunyikan. Aku berharap karakternya bisa dikembangkan dengan lebih jelas sejak awal, agar hubungan mereka juga terasa lebih kuat dan tidak ada tanda tanya besar di tengah-tengah cerita.

■ Perpaduan antara realita, kenangan, dan imajinasi di buku ini memang bikin suasananya terasa dreamy, dan aku suka, tapi jujur, kadang juga bikin bingung. Ceritanya bolak-balik antara kehidupan Anna di masa sekarang dan waktu-waktu dia bersama Marnie, tapi transisinya tidak selalu jelas. Kadang susah membedakan mana yang kejadian dan mana yang mungkin cuma mimpi atau bayangan. Beberapa bagian terasa agak blur satu sama lain, dan aku sempat merasa agak tersesat di tengah jalan, terutama momen-momen penting terasa nyatu banget tanpa batas yang jelas.)


CONCLUSION 

When Marnie Was There is an emotional and beautifully written story about loneliness, identity, and what it truly means to have a family. Through Anna’s journey, we see how finding real connections and learning to accept herself help her heal from the pain she’s been carrying. The mix of mystery, fantasy, and deep emotions makes this book both interesting and moving. Even though some parts like Marnie’s unclear nature and certain plot twists are a little bit confusing, the emotional impact of this story makes up for it. In the end, Anna’s story is a reminder that even when we feel completely alone, there’s always hope for connection, understanding, and finding where we truly belong.

(When Marnie Was There adalah cerita yang emosional dan ditulis dengan indah tentang kesepian, jati diri, dan makna keluarga yang sebenarnya. Lewat perjalanan Anna, kita bisa melihat bagaimana menemukan hubungan yang nyata dan belajar menerima diri sendiri bisa membantu dia sembuh dari luka yang selama ini dia pendam. Perpaduan misteri, fantasi, dan emosi yang dalam membuat buku ini menarik sekaligus menyentuh. Walaupun ada beberapa bagian yang agak membingungkan, seperti karakter Marnie yang misterius banget dan beberapa plot twist yang bikin kepikiran, tapi dampak emosional dari ceritanya bikin semua itu terbayar. Pada akhirnya, kisah Anna ini jadi pengingat kalau bahkan di saat kita merasa paling sendirian, selalu ada harapan buat menemukan hubungan, pemahaman, dan tempat di mana kita benar-benar merasa diterima.)

0 Comments

don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!

Note: only a member of this blog may post a comment.