Didn't See That Coming by Jesse Q. Sutanto | Book Review


Let me show you this one book that set the tone of my January reading mood into contemporary romance!

Okay. I didn’t realize that this book was actually the second in a series. Even though it focuses on a different main character, it still takes place in the same world as the first book, so I was a bit worried about spoilers since I haven’t read the first one yet. The story is about Kiki Siregar, a girlbwho has to move from her more relaxed, open school to a strict, elite school in Jakarta. Outside of school, Kiki loves playing the online game Warfront Heroes, but she faces a lot of harassment just because she’s a girl. To avoid all of them, she pretends to be a guy and becomes friends with a gamer named Sourdawg, who thinks she’s a male. This book follows her as she deals with her new school life, her experiences in the gaming world, and the challenges of handling both real-life and online bullying.

(Aku tidak sadar buku ini sebenarnya adalah buku kedua dari sebuah seri. Meskipun berfokus pada karakter utama yang berbeda, buku ini masih berlatar di dunia yang sama dengan buku pertama, jadi aku agak khawatir soal spoiler karena aku belum membaca buku pertamanya. Ceritanya tentang Kiki Siregar, seorang anak perempuan yang harus pindah dari sekolahnya yang lebih santai dan terbuka ke sekolah elit yang ketat di Jakarta. Di luar sekolah, Kiki suka bermain game online Warfront Heroes, tetapi dia menghadapi banyak pelecehan hanya karena dia seorang perempuan. Untuk menghindari semua itu, dia berpura-pura menjadi seorang laki-laki dan berteman dengan seorang gamer bernama Sourdawg, yang mengira dia seorang laki-laki. Buku ini menceritakan kisahnya menghadapi kehidupan sekolahnya yang baru, pengalamannya di dunia game, dan tantangan dalam menangani bullying di dunia nyata dan online.)


BOOK REVIEW 

Didn't See That Coming by Jesse Q. Sutanto dives deep into the struggles that women face in spaces dominated by men, both online and in real life. Its main character, Kiki, is a female gamer who hides her true identity to avoid harassment in the gaming world. Her experiences show how sexism is still very much alive, not only in gaming but in society as a whole. This theme is also explored at her school, where Kiki is judged differently from the boys for doing the same things. 

This book brings attention to the culture of online harassment, particularly in male-dominated spaces like gaming, where women are often treated as less important or capable. Kiki’s experience shows how difficult it can be for women in online spaces, where people can hide behind the screen and be even more toxic. Her decision to pretend to be a guy in the gaming world to avoid abuse shows just how bad it can get for women who just want to play without being targeted or belittled.

Toxic masculinity plays a huge role in this book, with certain characters showing entitlement and treating Kiki poorly just for being a girl. The story calls out how society’s pressures for men to act a certain way harm both men and women. Through her interactions with male classmates and other gamers, Kiki faces constant belittling, which shows how toxic masculinity creates a hostile atmosphere and enforces harmful stereotypes.

This book also takes a look at how the patriarchy is still alive, even if it’s often overlooked or dismissed. It shows how even in places that seem progressive or equal, gender inequality is still deeply rooted. Kiki’s experiences reflect how the patriarchy still affects the way people think and act, even in societies that claim to have equality. Sutanto points out that the fight against patriarchy is far from over because it’s often hidden in plain sight, which makes it harder to fight. Through Kiki’s struggles and the toxic masculinity she faces, the book shows how gender norms and stereotypes are still a huge part of our world and how difficult it can be to challenge them.

A big part of Kiki’s story is the emotional and mental impact of bullying on her. This book makes us see how bullying can damage someone’s confidence and self-worth, especially when it happens in a new school environment. The way Kiki is targeted because of her identity shows just how long-lasting the effects of bullying can be, even when it feels like it's just a passing moment.

This novel also shows the serious problems in school systems, especially how broken systems can make students feel passive and stuck. At Xingfa school, a powerful student from a rich family has so much control that students are more focused on just getting through the day than actually learning or thriving. The fear of facing consequences from the people in charge stops anyone from trying to change things. This creates a toxic environment where the system keeps running, and inequality continues to grow. This book shows how this kind of system can break students' spirits and turn them into people who just accept things as they are because they feel powerless to change them.

(Didn't See That Coming oleh Jesse Q. Sutanto menyelami secara mendalam perjuangan yang dihadapi perempuan di ruang yang didominasi oleh laki-laki, baik daring maupun di dunia nyata. Tokoh utamanya, Kiki, adalah seorang gamer perempuan yang menyembunyikan identitas aslinya untuk menghindari pelecehan di dunia game. Pengalamannya menunjukkan bagaimana seksisme masih sangat hidup, tidak hanya di dunia game tetapi juga di masyarakat secara keseluruhan. Tema ini juga dieksplorasi di sekolahnya, di mana Kiki dinilai berbeda dari anak laki-laki karena melakukan hal yang sama. 

Buku ini menyoroti budaya pelecehan daring, khususnya di ruang yang didominasi laki-laki seperti game, di mana perempuan sering dianggap kurang penting atau kurang cakap. Pengalaman Kiki menunjukkan betapa sulitnya bagi perempuan di ruang daring, di mana orang dapat bersembunyi di balik layar dan menjadi toksik. Keputusannya untuk berpura-pura menjadi laki-laki di dunia game untuk menghindari pelecehan menunjukkan betapa buruknya hal itu bagi perempuan yang hanya ingin bermain tanpa menjadi sasaran atau diremehkan. 

Maskulinitas toksik memainkan peran besar dalam buku ini, dengan beberapa karakter menunjukkan hak istimewa dan memperlakukan Kiki dengan buruk hanya karena dia seorang perempuan. Cerita ini mengungkap bagaimana tekanan masyarakat terhadap laki-laki untuk bertindak dengan cara tertentu ternyata merugikan baik laki-laki dan perempuan. Melalui interaksinya dengan teman sekelas laki-laki dan pemain game lainnya, Kiki terus-menerus diremehkan, yang menunjukkan bagaimana maskulinitas toksik menciptakan suasana yang tidak bersahabat dan menegakkan stereotip yang berbahaya. 

Buku ini juga membahas bagaimana patriarki masih hidup, meskipun sering kali diabaikan atau dikesampingkan. Buku ini menunjukkan bagaimana bahkan di tempat-tempat yang tampak progresif atau setara, ketidaksetaraan gender masih berakar dalam. Pengalaman Kiki mencerminkan bagaimana patriarki masih memengaruhi cara orang berpikir dan bertindak, bahkan di masyarakat yang mengklaim memiliki kesetaraan. Sutanto menunjukkan bahwa perjuangan melawan patriarki masih jauh dari selesai karena sering kali tersembunyi di depan mata, yang membuatnya lebih sulit untuk diperjuangkan. Melalui perjuangan Kiki dan toxic masculinity yang dihadapinya, buku ini menunjukkan bagaimana norma dan stereotip gender masih menjadi bagian besar dari dunia kita dan betapa sulitnya mengubahnya.

Bagian penting dari kisah Kiki adalah dampak emosional dan mental dari perundungan terhadap dirinya. Buku ini membuat kita melihat bagaimana perundungan dapat merusak kepercayaan diri dan harga diri seseorang, terutama ketika terjadi di lingkungan sekolah yang baru. Cara Kiki menjadi sasaran karena identitasnya menunjukkan seberapa lama efek perundungan dapat berlangsung, bahkan ketika terasa seperti hanya sesaat.

Novel ini juga menunjukkan masalah serius dalam sistem sekolah, terutama bagaimana sistem yang rusak dapat membuat siswa merasa pasif dan stuck. Di sekolah Xingfa, seorang siswa yang kuat dari keluarga kaya memiliki begitu banyak kendali sehingga siswa lainnya lebih fokus untuk bertahan daripada benar-benar belajar atau berkembang. Ketakutan menghadapi konsekuensi dari orang-orang yang bertanggung jawab menghentikan siapa pun untuk mencoba mengubah keadaan. Hal ini menciptakan lingkungan yang toksik di mana sistem terus berjalan, dan ketidaksetaraan terus tumbuh. Buku ini menunjukkan bagaimana sistem semacam ini dapat menghancurkan semangat siswa dan mengubah mereka menjadi orang yang menerima segala sesuatu sebagaimana adanya karena mereka merasa tidak berdaya untuk mengubahnya.)


THINGS I LOVE

■One of the things I like about this book is how it shows the emotional and psychological impact of bullying. Kiki’s experience with bullying opens our eyes to how deeply it affects someone. The way bullying attacks a person’s confidence and self-worth is so well done, and it’s an important reminder of how difficult it is for young people, especially girls, to deal with this kind of harassment.

■Even though this book deals with heavy topics, it keeps a lighthearted tone with humor and funny moments. The way Kiki and her friends joke around provides some relief from the serious issues, without making them feel less important. I like how the book mixes both, because it makes the story fun and easy to read.

■I also love how thia book shows the gaming world from Kiki’s perspective as a girl. It’s cool to see how she deals with the challenges of being in a male-dominated space. A lot of us can probably relate to her struggles, especially when it comes to facing discrimination or being belittled. 

■This book also dives into social issues like sexism, toxic masculinity, bullying, and the pressure young people feel in society. It makes this book feel really relatable and relevant to today's world. 

■What really interesting to me is how the book flips common tropes like "enemies to lovers" and "not like other girls" through Kiki and Jonas’ relationship. It reminded me of some fantasy books that also play with these tropes, but the way they’re handled here makes you think about how the characters see each other. Their "love" kind of feels like it’s based on one person being better than the other, which is often seen as a problem, but in this story, it feels real. It’s nice to see a more complicated and honest take on these tropes, and it really makes you question the way relationships are often portrayed in books.

(■Salah satu hal yang aku suka dari buku ini adalah bagaimana buku ini menunjukkan dampak emosional dan psikologis dari bullying. Pengalaman Kiki dalam bullying membuka mata kita tentang seberapa dalam dampaknya terhadap seseorang. Cara bullying menyerang kepercayaan diri dan harga diri seseorang diceritakan dengan sangat baik, dan ini adalah pengingat penting tentang betapa sulitnya bagi kaum muda, terutama perempuan, untuk menghadapi pelecehan semacam ini.

■Meskipun buku ini membahas topik-topik berat, buku ini tetap memiliki tone yang ringan dengan humor dan momen-momen lucu. Cara Kiki dan teman-temannya bercanda memberikan sedikit kelegaan dari masalah-masalah serius, tanpa mengurangi bobot cerita. Aku suka bagaimana buku ini memadukan keduanya, karena membuat cerita menjadi menyenangkan dan mudah dibaca.

■Aku juga suka bagaimana buku ini menunjukkan dunia game dari sudut pandang Kiki sebagai seorang perempuan. Sangat menyenangkan melihat bagaimana dia menghadapi tantangan berada di lingkungan yang didominasi laki-laki. Banyak dari kita mungkin dapat memahami kesulitannya, terutama ketika menghadapi diskriminasi atau diremehkan.

■Buku ini juga membahas isu sosial seperti seksisme, maskulinitas toksik, perundungan, dan tekanan yang dirasakan anak muda di masyarakat. Buku ini terasa sangat relevan dengan dunia saat ini.

■Yang paling menarik buat aku adalah bagaimana buku ini mengubah trope umum seperti enemies to lovers dan not like other girls melalui hubungan Kiki dan Jonas. Buku ini mengingatkan aku pada beberapa buku fantasi yang juga menggunakan trope ini, tetapi cara mereka dieksekusi di situ membuat kita berpikir tentang bagaimana karakter tersebut melihat satu sama lain. "Cinta" mereka terasa seperti didasarkan pada satu orang yang lebih baik dari yang lain, yang sering dianggap sebagai masalah, tetapi dalam cerita ini, hal itu terasa nyata. Aku senang melihat pandangan yang lebih kompleks dan jujur tentang trope ini, dan itu benar-benar membuat kita mempertanyakan bagaimana hubungan sering digambarkan dalam buku.)


THINGS I DON'T LIKE 

■One thing I didn’t like about this book is how the antagonists, like Jonas and Principal Lin, weren’t really fleshed out. They come across as arrogant and misogynistic, but we don’t get to understand their motivations or what makes them beyond just being the "bad guys." It feels like their actions are a bit one-dimensional.

■Another thing that didn’t sit well with me was how the bullying and conflict were resolved. While the book does a great job of showing how serious bullying can be, especially online and at school, I felt like the way these issues were wrapped up seemed a bit rushed. The ending provides some closure, but I was hoping for a deeper look at how the school system and society at large handle these problems. It would’ve been more satisfying if the book explored the consequences for characters like Jonas and Principal Lin, or showed how Kiki’s actions could lead to real change.

(■Satu hal yang kurang aku sukai dari buku ini adalah bagaimana tokoh antagonis, seperti Jonas dan Kepala Sekolah Lin, tidak benar-benar dijelaskan. Mereka tampak seperti orang yang arogan dan misoginis, tetapi kita tidak bisa memahami motivasi mereka atau apa yang membuat mereka lebih dari sekadar "orang jahat." Rasanya tindakan mereka agak one dimensional.

■Hal lain yang kurang aku sukai adalah bagaimana perundungan dan konflik diselesaikan. Meskipun buku ini berhasil menunjukkan betapa seriusnya perundungan, terutama secara daring dan di sekolah, aku merasa cara masalah ini diselesaikan agak terburu-buru. Akhir ceritanya memberikan sedikit penyelesaian, tetapi aku ingin melihat lebih dalam tentang bagaimana sistem sekolah dan masyarakat pada umumnya menangani masalah ini. Akan lebih memuaskan jika buku ini mengeksplorasi konsekuensi bagi karakter seperti Jonas dan Kepala Sekolah Lin, atau menunjukkan bagaimana tindakan Kiki dapat mengarah pada perubahan.)


CONCLUSION 

Didn't See That Coming is a really interesting and engaging book that brings up important issues like sexism, bullying, toxic masculinity, and online harassment. Kiki’s journey of figuring out who she is, staying strong, and dealing with challenges in both her personal life and online life makes the story pretty gripping. Even though there are some things I didn’t love, like the underdeveloped villains and the way the conflict was resolved too quickly, the book still does a great job exploring gender issues, especially in the gaming world. The mix of humor, serious themes, and real-life problems makes it a good read for anyone who likes books that balance both fun and important messages.

(Didn't See That Coming adalah buku yang sangat menarik dan engaging yang mengangkat isu-isu penting seperti seksisme, perundungan, maskulinitas toksik, dan pelecehan daring. Perjalanan Kiki dalam mencari tahu siapa dirinya, untuk tetap kuat, dan menghadapi tantangan dalam kehidupan pribadinya dan kehidupan daring membuat ceritanya cukup gripping. Meskipun ada beberapa hal yang kurang aku sukai, seperti antagonis yang kurang berkembang dan cara konflik diselesaikan terlalu cepat, buku ini tetap berhasil mengeksplorasi isu gender, terutama di dunia gim. Campuran humor, tema serius, dan masalah kehidupan nyata menjadikannya bacaan yang bagus bagi siapa saja yang menyukai buku yang menyeimbangkan kesenangan dan pesan penting.)

0 Comments

don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!

Note: only a member of this blog may post a comment.