7 Tastes of Love by Toko Koyanaga | Book Review



7 Tastes of Love by Toko Koyanaga tells the story of Kiriko, a woman who always wears a mask and glasses to hide her face because of past harassment and bullying. People treated her differently just because she is beautiful, some obsessed over her, while others resented her. She feels lonely at work and stuck in a controlling marriage with a rich husband who won’t even let her cook, even though cooking reminds her of happy times with her grandmother. Wanting to do something for herself, she secretly gets a job in the kitchen of a nursing home. There, she meets Sajita-san, an elderly man who introduces her to Izakaya Yabu Hebi, a small restaurant where she finally finds warmth and acceptance. 

(7 Tastes of Love oleh Toko Koyanaga menceritakan kisah Kiriko, seorang perempuan yang selalu memakai masker dan kacamata untuk menyembunyikan wajahnya karena pelecehan dan perundungan di masa lalu. Orang-orang memperlakukannya berbeda hanya karena dia cantik, beberapa terobsesi padanya, sementara yang lain membencinya. Dia merasa kesepian di tempat kerja dan terjebak dalam pernikahan yang penuh aturan dengan suami kaya yang bahkan tidak mengizinkannya memasak, meskipun memasak mengingatkannya pada saat-saat bahagia bersama neneknya. Karena ingin melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, dia diam-diam mendapat pekerjaan di dapur panti jompo. Di sana, dia bertemu Sajita-san, seorang pria tua yang memperkenalkannya pada Izakaya Yabu Hebi, sebuah restoran kecil tempat dia akhirnya menemukan kehangatan dan penerimaan.)


BOOK REVIEW 

7 Tastes of Love by Toko Koyanaga uses self-discovery, healing, and how our environment shapes us as its main themes, with food playing a huge role in Kiriko’s journey. In this story, food isn’t just something to eat, but it’s a source of comfort, a way to express emotions, and a connection to the past. For Kiriko, cooking is deeply personal. It’s how she remembers her grandmother, how she finds peace, and how she connects with others. But in her toxic marriage, she wasn’t even allowed to cook. 

This book also makes a strong point about how much our surroundings affect us. Kiriko’s beauty is the same no matter where she goes, but in one place, she’s harassed for it, and in another, she’s respected. This shows that sometimes, the problem isn’t with us, it’s the environment we’re in. It reminds me of the saying about flowers growing in the wrong place. If you're somewhere that doesn’t appreciate you, it doesn’t mean there’s something wrong with you, it just means you need to find a better place to grow. This applies to more than just looks, it could be talents, personality, or even dreams. The right environment can turn something you once felt ashamed of into your greatest strength.  

Another thing I found interesting is how the book explores the way people’s views are shaped by their own biases. Kiriko doesn’t change, but people treat her differently depending on their beliefs, values, and even insecurities. It makes us think about how much of our experiences are affected by other people’s perspectives rather than our own reality. At the same time, this book really shows the importance of leaving toxic situations. Whether it’s a bad relationship, an unhealthy workplace, or just being in a place where you feel unappreciated, we all deserve to be in spaces where we’re treated with respect and kindness.

Besides being a story about self-discovery and healing, this book also shows how emotional abuse can affect someone, especially in Kiriko’s marriage. Her husband didn’t hit her, but he controlled her in other ways by telling her what she could and couldn’t do, belittling her, and making her feel like her own dreams didn’t matter. He even forbade her from cooking, something she truly loved. This book makes us think about how emotional abuse isn’t always obvious, but it can be just as harmful as physical abuse. Kiriko’s journey shows how important it is to recognize these unhealthy relationships and take the difficult step of breaking free. This story also reminds us that we can’t just ignore or bury painful experiences, but we have to face them in order to heal.  

Another thing I found interesting is how this book critiques social media culture, especially through Kiriko’s husband. He’s obsessed with looking perfect online, always posting pictures to make his life seem amazing, but in reality, his marriage is cold and controlling. His self-worth is completely tied to how many likes and comments he gets, and keeping up that image is more important to him than actually being a good husband. This part of the story feels very relevant today, where so many people focus on appearing happy and successful online instead of building real, meaningful relationships. This book is a reminder that social media can distort reality and that seeking validation from the internet can sometimes make us feel worse instead of better.  

A lot of people in real life stay in toxic situations, whether it’s a bad relationship, a suffocating workplace, or a friend group that doesn’t truly support them, because they’re scared of change or judgment. This book shows how important it is to recognize when you’re in a harmful situation and have the courage to walk away. It’s about taking back control of your life, knowing your own worth, and finding a place where you can truly be yourself.

(7 Tastes of Love oleh Toko Koyanaga menggunakan penemuan jati diri, penyembuhan, dan bagaimana lingkungan membentuk kita sebagai tema utamanya, dengan makanan memainkan peran besar dalam perjalanan Kiriko. Dalam cerita ini, makanan bukan sekadar sesuatu untuk dimakan, tetapi juga sumber kenyamanan, cara untuk mengekspresikan emosi, dan koneksi ke masa lalu. Bagi Kiriko, memasak adalah hal yang sangat pribadi. Itulah cara dia mengingat neneknya, bagaimana dia menemukan kedamaian, dan bagaimana dia terhubung dengan orang lain. Namun dalam pernikahannya yang toksik, dia bahkan tidak diizinkan untuk memasak. 

Buku ini juga mengemukakan poin penting tentang seberapa besar lingkungan kita memengaruhi kita. Kecantikan Kiriko sama saja di mana pun dia pergi, tetapi di satu tempat, dia dilecehkan karenanya, dan di tempat lain, dia dihormati. Ini menunjukkan bahwa terkadang, masalahnya bukan pada kita, melainkan lingkungan tempat kita berada. Ini mengingatkanku pada pepatah tentang bunga yang tumbuh di tempat yang salah. Jika kita berada di suatu tempat yang tidak menghargai kita, bukan berarti ada yang salah dengan diri kita, itu hanya berarti kita perlu menemukan tempat yang lebih baik untuk berkembang. Ini berlaku untuk lebih dari sekadar penampilan, bisa juga bakat, kepribadian, atau bahkan impian. Lingkungan yang tepat dapat mengubah sesuatu yang dulunya membuat kita merasa malu menjadi kekuatan terbesar kita.

Hal lain yang menurutku menarik adalah bagaimana buku ini mengeksplorasi pandangan orang-orang dibentuk oleh bias mereka sendiri. Kiriko tidak berubah, tetapi orang-orang memperlakukannya secara berbeda tergantung pada keyakinan, nilai-nilai, dan bahkan rasa tidak aman mereka. Itu membuat kita berpikir tentang seberapa banyak pengalaman kita dipengaruhi oleh perspektif orang lain daripada realitas kita sendiri. Pada saat yang sama, buku ini benar-benar menunjukkan pentingnya meninggalkan situasi yang toksik. Baik itu hubungan yang buruk, tempat kerja yang tidak sehat, atau hanya berada di tempat di mana kita merasa tidak dihargai, kita semua layak berada di tempat-tempat di mana kita diperlakukan dengan rasa hormat dan kebaikan.

Selain menjadi cerita tentang penemuan jati diri dan penyembuhan, buku ini juga menunjukkan bagaimana kekerasan emosional dapat memengaruhi seseorang, terutama dalam pernikahan Kiriko. Suaminya tidak memukulnya, tetapi ia mengendalikannya dengan cara lain dengan memberi tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya, meremehkannya, dan membuatnya merasa bahwa impiannya sendiri tidak penting. Ia bahkan melarangnya memasak, sesuatu yang sangat ia sukai. Buku ini membuat kita berpikir tentang bagaimana kekerasan emosional tidak selalu terlihat jelas, tetapi bisa sama berbahayanya dengan kekerasan fisik. Perjalanan Kiriko menunjukkan betapa pentingnya mengenali hubungan yang tidak sehat ini dan mengambil langkah sulit untuk membebaskan diri. Cerita ini juga mengingatkan kita bahwa kita tidak bisa begitu saja mengabaikan atau mengubur pengalaman yang menyakitkan, tetapi kita harus menghadapinya untuk dapat sembuh.

Hal lain yang menurutku menarik adalah bagaimana buku ini mengkritik budaya media sosial, terutama melalui suami Kiriko. Ia terobsesi untuk tampil sempurna secara daring, selalu mengunggah foto-foto untuk membuat hidupnya tampak menakjubkan, tetapi pada kenyataannya, pernikahannya dingin dan suka mengatur. Harga dirinya sepenuhnya bergantung pada seberapa banyak like dan komentar yang ia dapatkan, dan menjaga citra itu lebih penting baginya daripada menjadi suami yang baik. Bagian cerita ini terasa sangat relevan saat ini, di mana begitu banyak orang berfokus untuk tampil bahagia dan sukses secara daring alih-alih membangun hubungan yang nyata dan bermakna. Buku ini adalah pengingat bahwa media sosial dapat mendistorsi realitas dan bahwa mencari validasi dari internet terkadang dapat membuat kita merasa lebih buruk alih-alih lebih baik.

Banyak orang dalam kehidupan nyata bertahan dalam situasi yang toksik, entah itu hubungan yang buruk, tempat kerja yang menyesakkan, atau kelompok teman yang tidak benar-benar mendukung mereka, karena mereka takut akan perubahan atau penilaian. Buku ini menunjukkan betapa pentingnya mengenali saat kita berada dalam situasi yang berbahaya dan memiliki keberanian untuk menjauh. Ini tentang mengambil kembali kendali atas hidup kita, mengetahui harga diri kita sendiri, dan menemukan tempat di mana kita benar-benar dapat menjadi diri sendiri.)


THINGS I LOVE

■One of the things I really love about this book is how it explores healing through food and building real connections. Food in this story isn’t just something you eat, it’s a way to show care, express emotions, and even heal from the past. At the izakaya and the nursing home, food brings people together and helps them form bonds. 

■Another thing I enjoy is the relationships Kiriko builds with the people around her, especially at the nursing home and the izakaya. Unlike her toxic marriage, these new relationships are supportive, caring, and accepting. It shows how important it is to find people who truly see and appreciate you. Kiriko’s journey is not just about leaving a bad situation, it’s also about finding a place where she feels valued. The friendships she forms with Sajita-san, Shotaro, and the people at Yabu Hebi show how powerful positive, supportive connections can be for healing and growing as a person.  

■I also love how this book talks about important social issues in a way that feels natural and thought-provoking, like the pressure of beauty standards and unwanted attention, the obsession with getting validation on social media, and challenges and emotional aspects of age-gap relationships. These themes are put together into the story so well, which make this book not only interesting but also really relatable to what’s going on in the world today.  

(■Salah satu hal yang sangat aku sukai dari buku ini adalah bagaimana buku ini mengeksplorasi penyembuhan melalui makanan dan membangun hubungan yang nyata. Makanan dalam cerita ini bukan hanya sesuatu yang kita makan, ini adalah cara untuk menunjukkan kepedulian, mengekspresikan emosi, dan bahkan menyembuhkan masa lalu. Di izakaya dan panti jompo, makanan menyatukan orang-orang dan membantu mereka menjalin ikatan.

■Hal lain yang aku nikmati adalah hubungan yang dibangun Kiriko dengan orang-orang di sekitarnya, terutama di panti jompo dan izakaya. Tidak seperti pernikahannya yang toksik, hubungan baru ini mendukung, peduli, dan menerimanya. Ini menunjukkan betapa pentingnya menemukan orang-orang yang benar-benar melihat dan menghargai kita. Perjalanan Kiriko bukan hanya tentang meninggalkan situasi yang buruk, tetapi juga tentang menemukan tempat di mana ia merasa dihargai. Persahabatan yang ia jalin dengan Sajita-san, Shotaro, dan orang-orang di Yabu Hebi menunjukkan betapa kuatnya hubungan yang positif dan mendukung untuk penyembuhan dan pertumbuhan sebagai pribadi. 

■Aku juga suka bagaimana buku ini membahas isu-isu sosial penting dengan cara yang terasa alami dan menggugah pikiran, seperti tekanan standar kecantikan dan perhatian yang tidak diinginkan, obsesi untuk mendapatkan validasi di media sosial, serta tantangan dan aspek emosional dari hubungan yang berbeda usia. Tema-tema ini disatukan dalam cerita dengan sangat baik, yang membuat buku ini tidak hanya menarik tetapi juga sangat relevan dengan apa yang terjadi di dunia saat ini.)


THINGS I DON'T LIKE 

■One issue I have with this book is that after Kiriko’s big decision, the story kind of loses its momentum. The part where she decides something important for her life is really engaging, but once she starts her new life, things feel a little anticlimactic. Her confession is left hanging, and even though she spends time with others, there isn’t a strong emotional moment or clear conclusion to some of the themes this book set up earlier.  

■Another thing I don't like is how underdeveloped Sajita’s character felt. While we see Kiriko grow a lot throughout the story, Sajita doesn’t get as much attention. We get a brief look at his backstory, but it isn’t enough to really understand his motivations. Since he’s an important part of Kiriko’s journey and there’s supposed to be a deeper connection between them, I wished his character had been explored more. 

■The pacing of this book felt really slow, which might be because of the writing style or the small font size. Certain parts were harder to get through, and it made it difficult to keep reading.

(■Satu masalah yang aku temukan dengan buku ini adalah setelah keputusan besar Kiriko, ceritanya agak kehilangan momentumnya. Bagian di mana ia memutuskan sesuatu yang penting untuk hidupnya benar-benar menarik, tetapi begitu ia memulai kehidupan barunya, semuanya terasa sedikit antiklimaks. Pengakuannya menggantung, dan meskipun ia menghabiskan waktu dengan orang lain, tidak ada momen emosional yang kuat atau kesimpulan yang jelas untuk beberapa tema yang diceritakan buku ini sebelumnya.

■Hal lain yang tidak aku sukai adalah betapa kurang berkembangnya karakter Sajita. Meskipun kita melihat Kiriko banyak tumbuh sepanjang cerita, Sajita tidak mendapat banyak perhatian. Kita melihat sekilas latar belakangnya, tetapi itu tidak cukup untuk benar-benar memahami motivasinya. Karena ia adalah bagian penting dari perjalanan Kiriko dan seharusnya ada hubungan yang lebih dalam di antara mereka, aku berharap karakternya lebih dieksplorasi.

 Pacing buku ini terasa sangat lambat, yang mungkin karena gaya penulisan atau ukuran font yang kecil. Bagian-bagian tertentu lebih sulit untuk dipahami, dan ini membuat aku sulit untuk terus membaca.)


CONCLUSION 

7 Tastes of Love is an interesting look at self-worth, healing, and finding a place where you truly belong. Kiriko’s journey, from dealing with emotional abuse and being judged by society to discovering comfort in new relationships, shows how important it is to reclaim who you are and find people who support you. The way food is used in this story, as a symbol of healing and connecting with others, adds a warm touch, and it’s something anyone who loves cooking or sharing meals can relate to. While the pacing slows down in the second half and some characters could’ve been developed more, this book does a great job of exploring ideas like societal pressures, emotional strength, and the value of human connection. In the end, it reminds us that we all deserve to be in places where we are truly seen and appreciated for who we are.

(7 Tastes of Love adalah sebuah pandangan menarik tentang harga diri, penyembuhan, dan menemukan tempat di mana kita benar-benar merasa diterima. Perjalanan Kiriko, dari menghadapi pelecehan emosional dan dihakimi oleh masyarakat hingga menemukan kenyamanan dalam hubungan baru, menunjukkan betapa pentingnya untuk menemukan kembali jati diri kita dan menemukan orang-orang yang mendukung kita. Cara makanan digunakan dalam cerita ini, sebagai simbol penyembuhan dan hubungan dengan orang lain, memberikan sentuhan hangat, dan itu adalah sesuatu yang dapat dipahami oleh siapa pun yang suka memasak atau berbagi makanan. Meskipun alurnya melambat di setengah bagian terakhir dan beberapa karakter dapat dikembangkan lebih lanjut, buku ini berhasil mengeksplorasi ide-ide seperti tekanan masyarakat, kekuatan emosional, dan nilai hubungan antarmanusia. Pada akhirnya, buku ini mengingatkan kita bahwa kita semua layak berada di tempat-tempat di mana kita benar-benar dilihat dan dihargai apa adanya.)

0 Comments

don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!

Note: only a member of this blog may post a comment.