A Study in Drowning by Ava Reid is a dark academia and gothic novel with mystery, folklore, and psychological aspects. It follows Effy Sayre, the only female architecture student at her university, who wins a contest to design a new home for her favorite author, Emrys Myrddin. Effy has always idolized Myrddin’s books, because they’ve been her escape from a world that constantly tries to silence her. But when she arrives at his decaying seaside mansion, she starts to uncover unsettling secrets, not just about the house, but about Myrddin himself. She teams up with Preston, a literature student who believes Myrddin wasn’t the genius everyone thinks he was. Together, they dig deeper into his past, by questioning how much of what people believe about him is actually true. At the same time, Effy struggles with anxiety, past trauma, and a growing fear that the eerie Fairy King from Myrddin’s stories might be more real than she ever thought.
(A Study in Drowning oleh Ava Reid adalah novel dark academia dan gothic dengan misteri, unsur folklore, dan psikologis. Ceritanya mengikuti Effy Sayre, perempuan satu-satunya yang kuliah arsitektur di kampusnya. Suatu hari, Effy menang kontes mendesain rumah baru untuk penulis favoritnya, Emrys Myrddin. Effy sudah lama mengidolakan buku-buku Myrddin, karena buat dia, mereka seperti pelarian dari dunia yang selalu membungkamnya. Tapi saat dia tiba di rumah lapuk Myrddin yang ada di pinggir laut, Effy mulai menemukan rahasia-rahasia aneh, bukan cuma tentang rumahnya, tapi juga tentang Myrddin sendiri. Di sana, Effy bekerja sama dengan Preston, mahasiswa sastra yang punya pendapat kalau Myrddin itu tidak sebaik yang orang-orang kira. Mereka berdua mulai menyelidiki masa lalu Myrddin, bertanya-tanya seberapa banyak hal yang orang percaya tentang dia yang benar-benar fakta. Di saat yang sama, Effy juga berurusan dengan rasa cemas, trauma masa lalu, dan ketakutan baru kalau jangan-jangan Fairy King dari cerita Myrddin itu benar-benar ada, bukan cuma karangan.)
BOOK REVIEW
What if everything you believed about your favorite author, every word, every story, was a lie designed to control you? In A Study in Drowning, we'll find how myths shape what we believe even when they rewrite history. Effy idolizes Myrddin, and convinced his books are pure genius. But as she looks beyond the surface, she starts to realize that stories aren’t always told to inspire because sometimes, they’re used to control. This book made me think about how often we accept things as truth just because they’ve been repeated for so long. It’s a reminder to question the figures we admire and the stories we trust without thinking twice.
One of the strongest themes here is how Myrddin is treated like a flawless literary god, his reputation carefully protected, his flaws erased. Society has a habit of putting certain people on pedestals and refusing to see their imperfections, and this book directly challenges that. It shows how comforting myths can also be dangerous when they’re used to hide the truth. Effy slowly realizes that Myrddin’s reputation isn’t based on who he really was, but on the version of him that powerful people wanted the world to see.
The way his influence is manipulated to make him seem better than he was? That’s exactly how history gets rewritten by those who benefit from it. This part of this book feels so real because it makes us realize that history isn’t always the truth, it’s just the version that survived. Effy’s determination to uncover what really happened is a proof that questioning long-held beliefs isn’t only important, but also necessary. Even when the truth is uncomfortable, it’s better than living in a lie.
This book also shines a light on how women’s voices have been erased, especially in male-dominated fields. Effy starts out believing Myrddin’s genius without question, but as she pieces things together, she realizes history has buried some very important and unsettling truths. This made us think about how, in real life, famous male writers and thinkers have been celebrated while the women around them were ignored. This book critiques that hero-worship and makes you wonder how many voices have been lost to history because they didn’t fit the "right" narrative.
On top of that, Effy’s experiences are hard to ignore. She struggles with anxiety, trauma, and self-doubt, and the way this book handles it feels raw and real. Her fears aren’t just in her head, because they’ve been planted by the way she’s been treated all her life. But what I love is that instead of letting it break her, she starts pushing back. She faces the stories that have defined her, the lies she’s been told, and the fears that have controlled her for so long.
One thing I couldn’t stop thinking about is how this book explores the impact of parents on self-worth. Effy’s struggles aren’t random because they come from years of being dismissed, controlled, and made to feel small. It shows how much the way we’re raised shapes our confidence, fears, and even the way we see ourselves. It ties back to this book’s bigger theme: how the stories we’re told whether personal ones from our childhood or broader ones from society, affect us more than we realize. Breaking free from them isn’t easy, but Effy’s story proves it’s possible.
One of the most interesting ideas in this book is how people hold onto stories that reflect their pain. Effy clings to Myrddin’s work because it makes her feel understood, like it’s the only thing that truly sees her. I think a lot of us have that one book that feels like a safe place, something that feels like it was written just for us that we never question it. But this novel makes an important point that just because a book feels personal doesn’t mean it’s perfect in every aspect. It shows that we can love stories while still questioning them, instead of blindly accepting them as truth.
This book also explores the quiet but powerful connection between writers and readers. A story can reach across time, and carry an author’s emotions to someone who needs them. Effy’s attachment to Myrddin’s book comes from that deep need for understanding. And even when she realizes the truth about him, this book still acknowledges how meaningful that kind of connection can be. It also raises an interesting thought that once a book is out in the world, it doesn’t just belong to the writer anymore because it belongs to the readers, who give it new meanings and interpretations.
Something else that caught my attention is how this book challenges the way folklore and gothic literature often romanticize dark, mysterious figures like the Fairy King. A lot of stories make these characters seem dangerously appealing, their power and cruelty framed as something seductive. But this book challenges that idea by presenting the Fairy King as beyond just a villain, to represent something very real. This book makes a sharp point about how dangerous people aren’t just found in myths. They exist in real life, and their behavior shouldn’t be excused just because it’s wrapped in an intriguing or romanticized story. It made us think about how we view these kinds of characters in fiction, and what that says about the way we see similar behavior in reality.
(Bagaimana jika semua hal yang kamu percaya tentang penulis favoritmu, setiap kata, setiap cerita, ternyata cuma kebohongan yang dibuat untuk mengendalikanmu? Dalam A Study in Drowning kita akan mengetahui bagaimana mitos bisa mengubah cara kita berpikir, bahkan sampai menulis ulang sejarah. Effy sangat mengidolakan Myrddin, dia yakin kalau buku-bukunya adalah bukti kejeniusannya. Tapi saat dia mulai mengulik lebih dalam, dia sadar kalau tidak semua cerita diciptakan untuk menginspirasi, karena terkadang, cerita itu digunakan untuk mengendalikan orang-orang. Buku ini membuat kita berpikir, seberapa sering sih kita menerima sesuatu sebagai kebenaran cuma karena kita sudah mendengarnya berkali-kali? Buku ini jadi pengingat untuk kita supaya tidak langsung percaya pada sosok yang kita kagumi atau cerita yang kita anggap sudah pasti benar.
Salah satu tema paling kuat di buku ini adalah bagaimana Myrddin dipuja-puja bagai dewa sastra, reputasinya dijaga mati-matian, dan segala keburukannya dihapus. Masyarakat sering kali menempatkan orang-orang tertentu di posisi yang sangat tinggi dan menolak untuk melihat kekurangan mereka, dan buku ini secara gamblang membongkar semua itu. Mitos memang bisa jadi sesuatu yang nyaman, tapi juga berbahaya kalau digunakan untuk menutupi kebenaran. Pelan-pelan, Effy mulai menyadari kalau reputasi Myrddin bukan soal siapa dia sebenarnya, tapi soal bagaimana orang-orang berkepentingan membentuk citranya agar terlihat sempurna.
Bagaimana citranya sengaja dimanipulasi agar terlihat lebih baik dari yang sebenarnya, begitulah sejarah sering kali ditulis ulang demi menguntungkan segelintir orang. Bagian ini terasa begitu dalam karena menyadarkan kita kalau sejarah yang kita tahu belum tentu sepenuhnya benar, karena itu cuma versi yang berhasil bertahan. Kegigihan Effy untuk mencari kebenaran menjadi bukti kalau mempertanyakan sesuatu yang sudah lama kita percaya itu bukan cuma penting, tapi juga perlu. Kadang kebenaran itu menyakitkan, tapi tetap lebih baik daripada hidup dalam kebohongan.
Buku ini juga menunjukkan bagaimana suara perempuan sering diabaikan, terutama di bidang yang didominasi laki-laki. Awalnya, Effy percaya pada kejeniusan Myrddin tanpa ragu. Tapi semakin banyak yang ia temukan, semakin ia sadar bahwa warisan yang ditinggalkannya telah mengubur beberapa kebenaran yang penting dan tidak nyaman untuk diterima. Dari sini, kita jadi sadar bahwa dalam kenyataan, para penulis dan pemikir laki-laki sering dihormati, sedangkan perempuan di sekitar mereka cenderung dilupakan. Buku ini mengajak kita untuk berpikir tentang sebenarnya ada berapa banyak suara yang hilang hanya karena mereka tidak cocok dengan cerita yang "seharusnya" diceritakan.
Di luar itu, perjalanan Effy juga sangat berat. Dia harus berhadapan dengan kecemasan, trauma, dan keraguan terhadap dirinya sendiri, dan cara buku ini mengangkat tema ini terasa mentah dan benar-benar nyata. Ketakutannya bukan cuma ada di pikirannya, tapi tumbuh dari cara dia diperlakukan sejak kecil. Tapi yang aku suka, dia tidak membiarkan hal itu menghancurkannya, tapi sebaliknya, dia melawan. Dia mulai melihat kenyataan di balik cerita yang selama ini mendefinisikan dirinya, kebohongan yang dia telan mentah-mentah, dan ketakutan yang selama ini membatasinya.
Satu hal yang paling memorable dari buku ini adalah bagaimana orang tua bisa mempengaruhi rasa percaya diri seorang anak. Kesulitan yang dihadapi Effy bukan terjadi tanpa sebab, tapi berasal dari bertahun-tahun diabaikan, dikontrol, dan dianggap tidak cukup baik. Hal ini menyadarkan kita kalau cara kita dibesarkan sangat berpengaruh pada bagaimana kita melihat diri sendiri, merasakan ketakutan, dan seberapa percaya kita pada diri kita sendiri. Semua ini berkaitan dengan tema utama buku ini yaitu bagaimana cerita yang kita dengar, baik dari keluarga maupun dari masyarakat, membentuk kita lebih dari yang kita sadari. Melepaskan diri dari narasi tersebut tidak gampang, tapi perjalanan Effy memberikan harapan kalau itu mungkin.
Salah satu hal paling menarik di buku ini adalah bagaimana cerita yang mencerminkan penderitaan seseorang bisa begitu melekat padanya. Effy terobsesi pada karya Myrddin karena dia merasa buku-buku itu memahaminya, seperti satu-satunya hal yang benar-benar bisa melihat dirinya apa adanya. Sepertinya banyak dari kita juga punya satu buku yang terasa sangat spesial, seperti sebuah tempat aman, sesuatu yang rasanya ditulis khusus untuk kita sampai kita tidak pernah kepikiran untuk mempertanyakan isinya. Tapi buku ini memberikan perspektif baru pada kita yaitu hanya karena sebuah cerita terasa personal, bukan berarti cerita itu sempurna. Kita bisa kok suka sebuah buku tanpa harus menerima semua yang ada di dalamnya mentah-mentah.
Buku ini juga mengangkat tentang hubungan antara penulis dan pembaca yang mungkin terlihat sederhana, tapi sebenarnya sangat powerful. Sebuah cerita bisa menembus waktu, menyampaikan emosi penulisnya pada orang yang membutuhkannya. Ikatan Effy dengan buku Myrddin datang dari keinginannya untuk dimengerti. Dan bahkan setelah dia tahu kebenaran tentang Myrddin, buku ini tetap mengakui betapa berharganya hubungan semacam itu. Ada juga pemikiran menarik di sini yaitu begitu sebuah buku dirilis ke dunia, buku itu bukan hanya milik penulisnya lagi, tapi juga milik para pembaca, yang akan memberikan makna dan interpretasi baru ke dalamnya.
Hal lain yang menarik perhatianku adalah bagaimana buku ini mengkritik cara folklore dan sastra gothic sering meromantisasi sosok-sosok gelap dan misterius seperti Fairy King. Banyak cerita yang membuat karakter-karakter ini kelihatan berbahaya tapi menarik, kekuatan dan kebrutalan mereka malah dikemas menjadi sesuatu yang menggoda. Tapi buku ini tidak sekadar menunjukkan Fairy King sebagai villain, melainkan lebih dari itu karena dia menjadi simbol dari sesuatu yang nyata. Buku ini menggambarkan dengan jelas kalau orang-orang berbahaya tidak cuma ada di dongeng. Mereka ada di dunia nyata, dan perilaku mereka tidak seharusnya dianggap wajar begitu saja hanya karena dibungkus dalam cerita yang memikat dan diromantisasi. Ini membuat kita berpikir tentang bagaimana kita melihat karakter seperti ini dalam karya fiksi, dan apa itu juga berpengaruh pada cara kita memandang perilaku serupa di dunia nyata.)
THINGS I LOVE
■I love how this book creates such a strong gothic vibe. The crumbling seaside mansion, the stormy weather, and the eerie, claustrophobic feeling make the setting feel alive. Ava Reid’s writing makes it so easy to picture everything and I can almost feel the damp air and hear the waves crashing. The isolation and creeping unease add so much to the tension, and maue the story even more immersive.
■Effy is the kind of protagonist I couldn’t help but root for. She’s flawed, anxious, and struggling with trauma, but that just makes her feel more real. I also love how stubborn she is, especially when it comes to defending her favorite author, even when it blinds her to the truth. Her journey of self-discovery and growth is really satisfying to watch, and I found myself genuinely invested in her story.
■One of the things I appreciate about this book is how it calls out the way male authors are idolized while women’s voices are often erased or rewritten. It’s not just about Effy’s personal journey, but also makes us think about who gets to tell stories and whose voices are ignored.
■The way this book portrays Effy’s struggles with anxiety, trauma, and self-doubt feels incredibly real. It doesn’t romanticize her pain or treat it like just another plot twist. Instead, it shows her experiences honestly, which makes her journey even more meaningful. I think a lot of readers, including me, can see parts of themselves in her struggles, and that’s what makes her such a compelling character.
■I love how this book explores themes that feel super relevant today, like how myths shape society, who controls stories, and why people blindly idolize certain figures. But what makes it even better is that it doesn’t feel preachy or like a lecture. These themes are put so naturally into the story that they just make you think without overwhelming you.
■The mystery surrounding Myrddin’s legacy and the mansion’s dark past kept me interested the entire time. This book slowly unravels its secrets in a way that makes us constantly question what’s real. The eerie atmosphere, the unpredictable twists, and the gripping climax all made for an incredibly satisfying read.
(■ Aku suka banget gimana buku ini menciptakan vibe gothic yang kental. Rumah tua di pinggir laut yang hampir rubuh, cuaca buruk, dan perasaan seram yang membuat sesak bener-bener bikin settingnya terasa hidup. Gaya penulisan Ava Reid bikin gampang banget buat ngebayangin semuanya, sampai aku kayak bisa merasakan udara lembab dan mendengar suara ombaknya. Isolasi dan kesan nggak nyaman yang merayap itu menambah banget tensinya, dan bikin ceritanya makin immersive.
■Effy adalah tokoh utama yang bikin aku nggak bisa nggak dukung dia. Dia nggak sempurna, penuh kecemasan, dan berjuang sama trauma, tapi justru itu yang bikin dia terasa lebih nyata. Aku juga suka gimana dia keras kepala banget, apalagi kalo sudah soal ngedefend penulis favoritnya, meskipun itu bikin dia nggak bisa melihat kebenaran. Perjalanannya buat menemukan jati diri dan berkembang itu benar-benar memuaskan buat disimak, dan aku sangat invested sama ceritanya.
■Salah satu hal yang aku apresiasi dari buku ini adalah gimana dia menyorot cara penulis laki-laki sering diidolakan sementara suara perempuan sering diabaikan atau diubah-ubah. Ini nggak cuma tentang perjalanan pribadi Effy, tapi juga bikin kita mikir siapa yang boleh bercerita dan siapa yang suaranya diabaikan.
■Cara buku ini menggambarkan perjuangan Effy dengan kecemasan, trauma, dan keraguan diri tuh terasa banget real, tanpa meromantisasi rasa sakitnya atau menganggap itu cuma sebagai bumbu cerita. Malah, dia menunjukkan pengalaman Effy dengan jujur, yang bikin perjalanannya makin berarti. Aku rasa banyak pembaca, termasuk aku, bisa melihat sebagian diri mereka dalam perjuangan Effy, dan itu yang bikin dia jadi karakter yang menarik banget.
■Aku suka gimana buku ini mengulik tema-tema yang relevan banget dengan zaman sekarang, kayak gimana mitos membentuk masyarakat, siapa yang mengontrol cerita, dan kenapa orang bisa mengidolakan tokoh tertentu. Tapi yang bikin lebih bagus lagi, ini nggak terasa kayak ceramah atau khotbah. Tema-tema ini dimasukkan secara natural ke dalam cerita, hingga bikin kita mikir tanpa merasa dibebani.
■Misteri seputar peninggalan Myrddin dan masa lalu rumah tua yang gelap itu bikin aku penasaran terus sampai akhir. Buku ini pelan-pelan membongkar rahasianya dengan cara yang bikin kita terus bertanya-tanya mana yang beneran nyata. Atmosfer seram, twist yang nggak terduga, dan klimaks yang bikin deg-degan bikin bacaannya jadi sangat memuaskan.)
CONCLUSION
A Study in Drowning is a powerful and thought-provoking book that blends mystery, academia, and self-discovery. Through Effy’s journey, Ava Reid explores how male creators are often idolized while women’s voices are silenced, and how stories can be twisted to control history. This book also highlights the personal connection between writers and readers, by showing how stories can bring comfort and even shape our sense of self. What I love most is how this book makes us question the narratives you’ve always accepted. It tells a story that makes us think about who gets to tell stories in the first place. With its eerie gothic setting, gripping mystery, and emotional aspects, this book is one of memorable reads which provokes further discussions. If you love dark academia, feminist themes, and stories that challenge the way you see the world, this is definitely a must-read.
(A Study in Drowning adalah buku yang powerful dan bikin kita mikir, yang menggabungkan misteri, dunia akademis, dan pencarian jati diri. Lewat perjalanan Effy, Ava Reid mengulik gimana kreator laki-laki sering diidolakan sementara suara perempuan dibungkam, dan gimana cerita bisa dipelintir untuk mengontrol sejarah. Buku ini juga menyorot hubungan personal antara penulis dan pembaca, dengan menunjukkan gimana cerita bisa memberi kenyamanan bahkan membentuk cara kita melihat diri sendiri. Yang paling aku suka adalah gimana buku ini bikin kita mempertanyakan narasi yang selama ini kita terima begitu saja. Ini cerita yang bikin kita mikir siapa sih yang sebenarnya boleh bercerita. Dengan setting gothic yang seram, misteri yang bikin penasaran, dan aspek emosional yang dalsm, buku ini jadi salah satu bacaan yang nggak bakal gampang dilupakan dan bikin kita ingin berdiskusi lebih lanjut. Kalau kamu suka dark academia, tema feminis, dan cerita yang menantang cara kamu melihat dunia, ini pasti must-read banget!)
0 Comments
don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!
Note: only a member of this blog may post a comment.