"Something about infinity, about never actually getting anywhere, never reaching your destination, makes me feel incredibly sad."
March 14 is the International Day of Mathematics, so I thought it would be the perfect time to talk about AfterMath by Emily Barth Isler. This middle-grade novel does something really interesting by blending math into a story about grief, healing, and finding connection. This book follows Lucy, a twelve-year-old girl who moves to a new town after losing her younger brother, Theo. She’s already struggling with her own grief, but when she arrives at her new school, she realizes her classmates are dealing with a different kind of trauma, a school shooting that happened years before. While they have each other to lean on, Lucy feels completely alone in her loss. Math becomes her safe space, something logical and reliable when everything else in her life feels uncertain. Through math, she slowly starts to connect with others and find a way forward.
(Tanggal 14 Maret itu ternyata Hari Matematika Internasional! Nah, aku jadi kepikiran buat bahas buku AfterMath oleh Emily Barth Isler. Jadi, ini novel middle-grade yang beneran keren karena menggabungkan matematika ke dalam cerita tentang kesedihan, penyembuhan, dan menemukan koneksi sama orang lain. Ceritanya tentang Lucy, anak perempuan berusia 12 tahun yang pindah ke kota baru setelah kehilangan adik laki-lakinya, Theo. Dia lagi mengalami kesulitan dalam menghadapi kesedihannya sendiri, pas masuk sekolah baru, ternyata teman-teman sekelasnya juga punya trauma sendiri karena mereka pernah mengalami insiden penembakan di sekolah beberapa tahun sebelumnya. Berbanding terbalik dengan teman-temannya yang punya satu sama lain buat saling support, Lucy merasa sendiri dalam menghadapi kehilangannya. Nah, di tengah semua kegalauan itu, matematika jadi semacam pelarian buat Lucy. Bagi dia, matematika itu sesuatu yang logis dan bisa diandalkan, beda banget sama hidupnya yang serba nggak pasti. Lewat matematika juga, Lucy pelan-pelan mulai bisa berhubungan sama orang lain dan nemuin cara buat move on.)
BOOK REVIEW
AfterMath tells the story of Lucy, a girl who is grieving the loss of her younger brother, Theo, while trying to adjust to a new school. But fitting in isn’t easy, because her new classmates are dealing with their own trauma from a school shooting that happened years ago. This book does a great job of showing how grief looks different for everyone. Lucy feels alone in her pain because no one else shares her specific loss, while her classmates have each other to lean on. This difference makes Lucy feel even more isolated, which shows how healing is a personal journey that doesn’t follow the same path for everyone.
One of the things I found really interesting was how this book explores survivor’s guilt. Lucy’s classmates struggle with the weight of having lived through something terrible when others didn’t, while Lucy carries a different kind of grief, one that no one around her fully understands. These themes of loss and healing feel very real, which shows that moving forward after tragedy isn’t simple or quick. This book doesn’t try to wrap everything up neatly but instead shows that grief is something people learn to live with in their own way.
Lucy’s parents are grieving too, but they all handle it in different ways. This book shows how loss can put a strain on family relationships and how important it is to communicate. Lucy keeps most of her emotions to herself, while her parents deal with their pain in their own ways, which creates emotional distance between them. This feels very real because even in the same family, people don’t always grieve the same way. But AfterMath also reminds us that no one has to go through hard times alone. Talking to someone, whether it’s a friend, family member, or even a teacher, can make a huge difference.
One of the things that makes this book stand out is how it uses math as a way for Lucy to cope. When everything in her life feels uncertain, math is the one thing that stays predictable. Numbers and equations follow rules, unlike emotions, which can be messy and confusing. Solving problems helps Lucy feel like she has some control when everything else feels out of place. This book also uses math as a metaphor for grief, like how infinity represents how overwhelming loss can feel, and how patterns and equations reflect Lucy’s way of making sense of her emotions and her new life.
Math also plays a surprising role in Lucy’s relationships. At first, she feels completely alone, but math becomes a way for her to connect with her classmates. Her math teacher and lessons help her see things differently, and through numbers, she slowly starts to bond with others. This connects to the theme of friendship, sometimes, the most unexpected things can help bring people together. This book also highlights a big contrast where in math, there’s always a clear answer, but in real life, especially when dealing with grief, things don’t always make sense. Lucy struggles with this, and her journey shows how people often look for structure, whether through math, hobbies, or routines, to help them deal with life’s chaos.
One of the most interesting aspects of this book is how it also explores the impact of tragedy from a perspective that isn’t often discussed, which is the family of the shooter. There is a character in this book who struggles with the stigma and discomfort of being related to the person responsible for the school shooting. Even though this story is told from Lucy’s point of view, this book does a great job of portraying how difficult it is to live with an identity that is constantly linked to such a traumatic event. I really appreciate how the author handles this with realism and empathy. This character isn’t the main focus, but their presence in this story adds another aspects to the discussion about grief and trauma.
One important message from this book is that we never really know what someone else is going through. Lucy often misreads her classmates’ actions, just like they don’t fully understand her grief at first. She feels like no one can relate to her pain, while her classmates, who have been through their own tragedy, don’t immediately see what she’s going through either. But as time goes on, she realizes that just because their grief looks different doesn’t mean it’s any less real. This shows how easy it is to misunderstand people when we don’t know their full story.
With how common misunderstandings and snap judgments are, especially online, this book is a reminder to be more patient and kind. Just like Lucy and her classmates slowly start to understand each other, this book encourages us to take a step back and try to see things from other people’s perspectives. Everyone is dealing with something, even if we don’t see it right away.
"My life is a lot like mime. The most important things don't get said, and you're really not supposed to touch most people."
(AfterMath bercerita tentang Lucy, anak perempuan yang sedang berduka karena kehilangan adik laki-lakinya, Theo, sambil berusaha menyesuaikan diri di sekolah baru. Tapi gampang-gampang susah sih buat beradaptasi, soalnya teman-teman sekelasnya juga punya trauma sendiri dari insiden penembakan di sekolah yang terjadi beberapa tahun lalu. Nah, buku ini bagus banget dalam menunjukkan gimana kesedihan itu bisa berbeda-beda buat setiap orang. Lucy merasa sendirian dalam kesedihannya karena nggak ada yang merasakan kehilangan yang sama kayak dia, sementara teman-temannya punya satu sama lain buat saling support. Perbedaan ini bikin Lucy merasa semakin terisolasi, dan itu menunjukkan kalau proses penyembuhan itu memang perjalanan pribadi yang nggak sama buat semua orang.
Satu hal yang menurutku menarik banget di buku ini adalah cara dia mengangkat pembahasan survivor’s guilt. Teman-teman Lucy berjuang dengan perasaan bersalah karena mereka selamat dari sesuatu yang mengerikan, sementara orang lain nggak. Di sisi lain, Lucy punya kesedihan yang berbeda, yang nggak sepenuhnya dimengerti sama orang-orang di sekitarnya. Tema-tema kayak kehilangan dan penyembuhan ini terasa sangat realistis, dan itu menunjukkan kalau move on setelah tragedi itu nggak sesimpel atau secepat yang orang bayangkan. Buku ini nggak mencoba mengakhiri semua masalah dengan happy ending, tapi lebih menunjukkan kalau kesedihan itu sesuatu yang harus dihadapi dengan cara masing-masing.
Orang tua Lucy juga lagi berduka, tapi mereka menghadapinya dengan cara yang berbeda juga. Buku ini menunjukkan gimana kehilangan bisa bikin hubungan keluarga jadi renggang dan betapa pentingnya komunikasi. Lucy cenderung menyimpan perasaannya sendiri, sementara orang tuanya mengatasi rasa sakit mereka dengan cara masing-masing, yang akhirnya menciptakan jarak emosional antara mereka. Ini terasa sangat realistis karena bahkan dalam satu keluarga, nggak semua orang berduka dengan cara yang sama. Tapi AfterMath juga mengingatkan kita kalau nggak ada yang harus menghadapi masa-masa sulit sendirian. Ngobrol sama seseorang, entah itu temen, keluarga, atau bahkan guru, bisa membuat keadaan terasa sedikit berbeda.
Salah satu hal yang membuat buku ini menonjol adalah cara dia menggunakan matematika sebagai alat untuk Lucy dalam menghadapi semuanya. Saat semua hal dalam hidupnya terasa nggak pasti, matematika menjadi satu-satunya hal yang tetap bisa diandalkan. Angka dan rumus itu punya aturan yang jelas, berbeda dengan emosi yang bisa berantakan dan membingungkan. Menyelesaikan soal matematika membuat Lucy merasa punya kendali saat semuanya terasa berantakan. Buku ini juga menggunakan matematika sebagai metafora untuk kesedihan, kayak gimana konsep infinity menggambarkan betapa beratnya rasa kehilangan, atau gimana pola dan rumus matematika mencerminkan cara Lucy mencoba memahami emosi dan hidup barunya.
Lucunya, matematika juga punya peran nggak terduga dalam hubungan Lucy. Awalnya, dia merasa sendirian, tapi matematika malah menjadi cara untuk berhubungan dengan teman-teman sekelasnya. Guru matematika dan pelajarannya membantu Lucy melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, dan lewat angka-angka, dia pelan-pelan mulai bisa dekat dengan orang lain. Ini berkaitan dengan tema persahabatan, kadang hal yang paling nggak disangka bisa membuat orang-orang menjadi dekat. Buku ini juga menunjukkan kontras yang menarik yaitu di matematika, selalu ada jawaban yang jelas, tapi di kehidupan nyata, apalagi saat berurusan dengan kesedihan, nggak semuanya masuk akal. Lucy berjuang dengan ini, dan perjalanannya menunjukkan gimana orang sering mencari struktur, entah lewat matematika, hobi, atau rutinitas, untuk membantu mereka menghadapi kekacauan hidup.
Salah satu aspek paling menarik dari buku ini adalah bagaimana buku ini juga mengeksplorasi dampak tragedi dari sudut pandang yang jarang dibahas, yaitu keluarga pelaku penembakan. Ada karakter dalam buku ini yang berjuang melawan stigma dan ketidaknyamanan karena memiliki hubungan dengan orang yang bertanggung jawab atas penembakan di sekolah. Meskipun cerita ini diceritakan dari sudut pandang Lucy, buku ini berhasil menggambarkan betapa sulitnya hidup dengan identitas yang terus-menerus dikaitkan dengan peristiwa traumatis tersebut. Aku sangat menghargai bagaimana penulis menangani hal ini dengan realisme dan empati. Karakter ini bukanlah fokus utama, tetapi kehadirannya dalam cerita ini menambah aspek lain untuk didiskusikan dalam hal kesedihan dan trauma.
Salah satu pesan penting dari buku ini adalah kita nggak pernah benar-benar tahu apa yang sedang dialami orang lain. Lucy sering salah paham dengan tindakan teman-temannya, sama seperti mereka yang awalnya nggak sepenuhnya mengerti kesedihan Lucy. Dia merasa nggak ada yang bisa relate sama rasa sakitnya, sementara teman-temannya, yang juga sudah mengalami tragedi sendiri, nggak langsung mengerti apa yang Lucy alami. Tapi seiring waktu, Lucy sadar kalau meskipun kesedihan mereka terlihat berbeda, nggak berarti rasa sakit mereka nggak nyata. Ini menunjukkan gimana gampangnya kita buat salah paham sama orang lain kalau kita nggak tahu cerita lengkapnya.
Apalagi di dunia sekarang di mana salah paham dan ngejudge orang secara gegabah itu sudah biasa, terutama di media sosial, buku ini jadi pengingat buat kita supaya lebih sabar dan ramah. Kayak Lucy dan teman-temannya yang pelan-pelan mulai saling mengerti, buku ini mengajak kita untuk mengerem sebentar dan mencoba untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Semua orang pasti punya masalah yang sedang dihadapi, meskipun kita nggak langsung melihatnya.)
THINGS I LOVE
■One of the things I like about this book is how it handles grief and trauma in such a real and honest way. It doesn’t try to rush the healing process or give simple solutions, which makes it feel so much more genuine. Everyone in this book deals with loss differently, and there’s no right way to cope. That’s what makes thid story so powerful by showing how personal and complicated grief can be.
■My most favorite aspect of this book is how math is woven into the story. It’s not just there because Lucy likes it, but because it actually helps her process her emotions and make sense of everything happening around her. It’s not used to force the story forward or feel like a boring school subject, because it’s just a natural part of her life. Without it, she wouldn’t be able to understand her own feelings. Then, the math jokes and facts sprinkled throughout this book were a fun touch!
■The title is also really clever! AfterMath works in two ways: first, because Lucy loves math, and second, because it’s about what happens after a huge, life-changing event. Both Lucy and her classmates are dealing with their own "aftermath," and I love how the title ties everything together so well.
■The characters in this book also felt incredibly real to me. None of them are exaggerated or overly dramatic like their struggles, emotions, and reactions all feel natural. I especially love Lucy’s math teacher. He’s so supportive, kind, and actually cares about his students. I also think it's so cool that he is passionate about theater. It’s nice to see a teacher in a book who is more than just "the person who gives homework." I also like how the author included characters from different backgrounds in a way that felt respectful and real.
■The friendships and relationships in this book were another favorite of mine. It explores things like jealousy, forgiveness, and how grief doesn’t just affect one person because it impacts everyone around them. I think a lot of people, especially middle-graders and teenagers, will relate to Lucy’s relationship with her parents and that weird, quiet sadness that lingers after a loss. These characters have flaws, and that’s what makes them feel real. And that’s what I love most about this book.
■Lucy’s struggles with grief, friendships, and fitting in at a new school feel so real. The way she reacts, like her frustration, loneliness, and awkward moments, makes her easy to relate to. If you’ve ever felt out of place or dealt with loss, you might see parts of yourself in her story.
■Even though this book talks about heavy topics, it leaves us with a sense of hope. It shows that healing is possible, even if it takes time, and that support, whether from friends, family, or teachers, can make a huge difference. It doesn’t pretend that everything will magically be okay, but it reassures you that you won’t always feel alone.
■I love how easy the writing is to understand. Even though it talks about heavy topics like grief, loss, and a school shooting, it’s written in a way that young readers can grasp while still being deep enough for older readers.
"Suddenly not knowing the shape of equation feels like freedom instead of uncertainty."
(■Aku suka banget gimana buku ini mengangkat tema kesedihan dan trauma dengan cara yang jujur dan realistis. Dia nggak memaksa proses penyembuhan atau memberikan solusi instan, yang bikin ceritanya terasa lebih genuine. Setiap karakter di sini menghadapi kehilangan dengan caranya sendiri, dan nggak ada cara yang "benar" buat itu. Nah, itu yang bikin ceritanya kuat, karena menunjukkan betapa personal dan rumitnya rasa kehilangan itu.
■Yang paling aku suka dari buku ini adalah gimana matematika dimasukkan ke dalam cerita. Nggak cuma sekadar hobi Lucy, tapi matematika membantunya mengolah emosi dan memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Matematika di sini nggak dipaksa untuk menggerakkan cerita atau jadi kayak pelajaran sekolah yang membosankan, tapi emang jadi bagian alami dari hidup Lucy. Tanpa matematika, dia mungkin nggak bakal bisa mengerti perasaannya sendiri. Terus, jokes-jokes dan fakta matematika yang diselipin di cerita ini bikin tambah seru!
■Judulnya juga beneran smart banget! AfterMath punya dua makna: pertama, karena Lucy suka matematika, dan kedua, karena ini tentang apa yang terjadi setelah sebuah kejadian besar yang mengubah hidup. Baik Lucy maupun teman-temannya sama-sama menghadapi "aftermath" mereka sendiri, dan aku suka banget gimana judulnya menghubungkan semuanya dengan apik.
■Karakter-karakternya juga terasa realistis. Nggak ada yang berlebihan atau dramatis termasuk perjuangan, emosi, dan reaksi mereka semua terasa natural. Aku especially suka sama guru matematika Lucy. Dia supportive, baik hati, dan beneran peduli sama murid-muridnya. Terus, aku suka banget gimana dia juga punya passion di teater. Seneng deh liat guru di buku yang nggak cuma sekadar "orang yang ngasih PR." Aku juga apresiasi gimana penulisnya mengemas karakter-karakter dari latar belakang yang berbeda dengan cara yang respectful dan nggak dipaksain.
■Persahabatan dan hubungan di buku ini juga jadi salah satu favoritku. Buku ini mengangkat hal-hal kayak kecemburuan, maaf, dan gimana kesedihan nggak cuma ngefek ke satu orang, tapi ke semua orang di sekitarnya. Aku rasa banyak orang, terutama pembaca middle-grade dan remaja, bakal relate sama hubungan Lucy dan orang tuanya, juga rasa sedih yang terus menempel setelah kehilangan. Karakter-karakternya punya kekurangan, dan itu yang bikin mereka terasa nyata. Dan itu yang paling aku suka dari buku ini, rasanya kayak ngobrol sama temen yang lagi ceritain hidupnya.
■Perjuangan Lucy yang mengalami kesedihan, persahabatan, dan menemukan tempat di sekolah baru ini terasa sangat realistis. Reaksinya, kayak frustrasi, rasa kesepian, atau momen-momen canggung, bikin karakternya sangat relatable. Kalau kamu pernah merasa nggak nyaman di tempat baru atau mengalami kehilangan, mungkin kamu bakal menemukan sebagian dirimu di cerita Lucy.
■Meskipun buku ini membahas tema-tema berat, tapi akhirnya tetap terasa hopeful. Buku ini menunjukkan bahwa penyembuhan itu mungkin, meskipun butuh waktu, dan dukungan, entah dari teman, keluarga, atau guru, bisa menciptakan perbedaan besar. Buku ini tidak mengatakan kalau semuanya bakal beres secara ajaib, tapi memberikan pesan yang meyakinkan kamu nggak akan selamanya merasa sendirian.
■Aku juga suka banget sama gaya penulisannya yang gampang dimengerti. Meskipun bahas topik-topik serius kayak kesedihan, kehilangan, atau penembakan di sekolah, tapi ditulis dengan cara yang bisa dipahami sama pembaca yang lebih muda, tapi tetap terasa dalam buat pembaca yang lebih dewasa.)
CONCLUSION
AfterMath is a powerful and emotional story about grief, healing, and relationships. It shows how loss affects people in different ways and how having the right support can make a difference. One of the things that makes this book stand out is how it uses math, not just as a school subject, but as a way for Lucy to cope with her emotions. This adds a unique aspect to the story that I haven’t seen in other middle-grade books about grief. Even though this book deals with heavy topics, it leaves us with hope, by reminding us that healing takes time but isn’t impossible.
(AfterMath adalah cerita yang dalam dan emosional, yang membahas tentang kesedihan, penyembuhan, dan hubungan dengan orang lain. Buku ini menunjukkan gimana kehilangan bisa mempengaruhi orang dengan cara yang berbeda-beda, dan gimana punya dukungan yang tepat bisa terasa sangat berbeda. Salah satu hal yang membuat buku ini unik adalah caranya menggunakan matematika, nggak cuma sebagai pelajaran sekolah, tapi juga sebagai alat untuk Lucy dalam menghadapi emosinya. Ini adalah sisi yang beda banget dari cerita-cerita lain tentang kesedihan yang biasanya aku baca, apalagi buat buku-buku middle-grade. Meskipun bahas topik-topik berat, buku ini tetap terasa hopeful. Dia mengingatkan kita kalau penyembuhan memang butuh waktu, tapi nggak mustahil buat dicapai. Jadi, buat yang suka baca cerita yang dalam tapi tetap memberikan semangat, buku ini worth it banget!)
0 Comments
don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!
Note: only a member of this blog may post a comment.