I Am Not Jessica Chen by Ann Liang follows Jenna, a girl who always feels like she’s not good enough especially compared to her perfect cousin, Jessica. Jenna thinks that if she were like Jessica, smart, pretty, and admired, her life would be easier. Then one day, she wakes up in Jessica’s body and finally gets to live the life she’s always envied. But as she experiences Jessica’s world, she realizes that perfection comes with a price. Jessica’s life isn’t as effortless as it seems, and success doesn’t always mean happiness. As Jenna struggles with her new reality, she starts questioning what really makes a person valuable, is it grades, status, or how others see you?
(I Am Not Jessica Chen oleh Ann Liang bercerita tentang Jenna, cewek yang selalu merasa kurang, apalagi kalau dibandingkan dengan sepupunya, Jessica, yang kayaknya sempurna banget. Jenna mikir, kalau saja dia bisa jadi Jessica yang pintar, cantik, dan dikagumi, hidupnya pasti bakal lebih gampang. Suatu hari, dia bangun dan ternyata dia ada di dalam tubuh Jessica! Akhirnya, dia bisa merasakan hidup yang selama ini dia idam-idamkan. Tapi, ketika sudah nyemplung di dunia Jessica, Jenna baru ngeh kalo kesempurnaan itu tidak semudah kelihatannya. Ternyata, hidup Jessica tidak segampang yang dia kira, dan kesuksesan tidak selalu membuat bahagia. Nah, di tengah perjuangannya menghadapi realitas baru ini, Jenna mulai mikir: sebenernya apa sih yang bikin seseorang berharga? Apa itu nilai, status, atau gimana orang lain melihat kita?)
BOOK REVIEW
Ann Liang’s I Am Not Jessica Chen follows Jenna, who has always felt like she’s living in her cousin Jessica’s shadow. Jessica seems to have everything like good grades, admiration, and a perfect future ahead of her. But when Jenna suddenly wakes up in Jessica’s body, she thinks she’s finally won. Now she has the life she always envied. But as she lives as Jessica, she realizes that even Jessica has struggles of her own.
One of the lessons from this book is that success and external validation don’t define your worth. Jenna believes that being at the top like getting into an elite school, earning admiration, and fitting society’s idea of success, will make her happy. But she soon learns that no achievement will ever be enough if she doesn’t accept herself first. This book critiques how society, especially in competitive environments, puts so much pressure on achievements while ignoring how important mental well-being and self-acceptance are.
I also really related to Jenna’s struggle with comparison. She spends so much time comparing herself to Jessica, by believing that if she were more like her, her life would be better. But the truth is, even those who seem to have it all are struggling with something. In today’s world, social media makes it even worse because we only see the highlights of other people’s lives. This book is a reminder that just because someone looks successful on the outside doesn’t mean they’re happy. Instead of chasing an idealized version of success, it’s more important to focus on what actually makes you happy.
For Asian readers, this book feels so familiar because of the way it explores family expectations. A lot of Asian parents measure success by academic achievements and tend to compare their kids to others. That whole “Look at your cousin, she got into Harvard!” mindset is something so many of us have heard before. Jenna’s struggles really reflect how much pressure students face to meet these high expectations. This book shows how this pressure can make young people feel like failures if they don’t reach a certain level of success.
One of the themes in I Am Not Jessica Chen is academic pressure, especially from family. Both Jenna and Jessica come from immigrant families that believe getting top grades is the only way to have a secure future. Their parents push them to be the best because they want them to have a better life. But even though it comes from love, this kind of pressure can be mentally and emotionally exhausting. This book shows how students are often pushed to their limits, and making them feel like failure is not an option. If you’ve ever felt stuck between your own dreams and the sacrifices your parents made for you, this part of this book will definitely be relatable.
This book also does a great job of showing Asian parenting in a way that feels real. A lot of Asian parents don’t always say “I love you” or “I’m proud of you,” but they show love in other ways like working hard to provide, making sacrifices, and constantly worrying about your future. Jenna’s story captures that feeling of guilt that many kids experience, like the pressure to succeed not just for themselves, but because they don’t want to let their parents down. It’s a cycle that many families go through without realizing it, and this shows highlights how this pressure can be overwhelming.
Another thing I like about this book is how it questions the idea of meritocracy, the belief that success is all about intelligence and hard work. Jenna starts off believing that if she just works hard enough, she’ll succeed. But as the story goes on, she realizes that privilege, money, and connections play a huge role in who gets opportunities. Even though both Jenna and Jessica work hard, some people still have an unfair advantage just because of their background. This book points out a harsh reality where a lot of talented students struggle, not because they aren’t smart or hardworking, but because they don’t have the same resources as wealthier students. It makes this book feel even more relevant, especially in today’s world, where getting good jobs often depends on more than just skills.
At its center, I Am Not Jessica Chen is about losing yourself while trying to meet society’s expectations. When Jenna wakes up as Jessica, she finally gets to experience being the “perfect” student, admired, smart, and successful. But instead of feeling happy, she starts to lose her identity. People even begin to forget Jenna ever existed, which shows how trying too hard to fit in can make you lose what makes you unique. This book makes a strong point about how society values a certain kind of success, like good grades, prestige, and status, rather than letting people define success for themselves.
Another thing this book highlights is the unrealistic expectations placed on young women. Jessica isn’t just expected to be smart, but she also has to be beautiful, well-behaved, and effortlessly perfect. This reflects the pressure a lot of girls face, especially in competitive environments. This book points out the double standards women deal with, where they’re judged on everything from their achievements to their looks and personality. Even though Jessica seems like she has it all, this story shows that her life isn’t as easy as it looks.
(I Am Not Jessica Chen oleh Ann Liang mengikuti kisah Jenna, yang merasa hidupnya selalu kalah dengan sepupunya, Jessica. Jessica seperti punya segalanya, seperti nilai bagus, dikagumi, masa depan cerah, pokoknya sempurna gitu. Tapi suatu hari, Jenna tiba-tiba bangun dan ternyata dia ada di dalam tubuh Jessica! Awalnya dia seneng banget, karena akhirnya bisa punya kehidupan yang dia impikan. Tapi ketika sudah masuk di kehidupan Jessica, Jenna baru sadar kalau ternyata hidup Jessica tidak semudah yang terlihat. Bahkan Jessica pun punya kesulitannya sendiri.
Salah satu pelajaran penting dari buku ini adalah kesuksesan dan validasi dari orang lain tidak menentukan harga diri kita. Jenna awalnya berpikir kalau dia bisa masuk sekolah top, dikagumi, dan menyesuaikan diri dengan standar kesuksesan yang masyarakat tetapkan, dia bakal bahagia. Tapi ternyata, tidak ada prestasi yang bakal cukup kalau dia tidak menerima dirinya sendiri dulu. Buku ini mengkritik bagaimana masyarakat, apalagi di lingkungan yang kompetitif, terlalu fokus dengan prestasi tapi melupakan pentingnya kesehatan mental dan penerimaan diri.
Aku juga merasakan banget gimana Jenna selalu membandingkan dirinya dengan Jessica. Dia mikir kalau dia bisa lebih kayak Jessica, hidupnya pasti lebih baik. Tapi kenyataannya, bahkan orang yang kelihatannya punya segalanya pun punya masalahnya sendiri. Apalagi di zaman sekarang, media sosial membuat kita cuma melihat hal-hal yang “wah” dari hidup orang lain. Buku ini mengingatkan kita kalau kesuksesan yang keliatan dari luar tidak selalu berarti bahagia. Daripada mengejar kesuksesan yang ideal, mending fokus sama apa yang benar-benar bikin kita bahagia.
Buat pembaca Asia, baca buku ini tuh berasa kayak baca cerita hidup sendiri, haha. Soalnya, buku ini menunjukkan gimana ekspektasi keluarga, terutama orang tua Asia, yang sering banget mengukur kesuksesan anaknya berdasarkan prestasi akademis. Pasti pernah dong dengar orang tua bilang, “Lihat tuh sepupumu, dia diterima di Harvard!” atau semacamnya. Perjuangan Jenna di buku ini benar-benar menggambarkan tekanan besar yang dirasakan siswa untuk memenuhi ekspektasi tinggi itu. Buku ini menunjukkan gimana tekanan seperti gitu bisa bikin anak muda merasa gagal kalau mereka tidak bisa mencapai standar kesuksesan tertentu.
Nah, salah satu tema utama di I Am Not Jessica Chen adalah soal tekanan akademis, terutama dari keluarga. Jenna dan Jessica berasal dari keluarga imigran yang percaya kalo mendapat nilai tinggi adalah satu-satunya jalan buat masa depan yang terjamin. Orang tua mereka selalu mendorong mereka untuk jadi yang terbaik, karena mereka ingin anak-anaknya punya hidup yang lebih baik. Tapi, meskipun tekanan ini datang dari rasa sayang, tetep aja bisa bikin capek mental dan emosional. Buku ini menunjukkan gimana siswa sering dipaksa sampai batas kemampuan mereka, sampai mereka merasa kalau gagal itu bukanlah pilihan. Kalau kamu pernah merasa terjebak antara mimpi dan pengorbanan yang sudah dilakukan orang tua, bagian ini pasti bakal ngena banget.
Selain itu, buku ini juga berhasil menunjukkan pola asuh orang Asia dengan cara yang realistis banget. Banyak orang tua Asia mungkin nggak sering bilang “Ibu sayang kamu” atau “Ayah bangga sama kamu,” tapi mereka nunjukin cinta lewat cara lain, kayak kerja keras buat menafkahi keluarga, berkorban, dan selalu khawatir dengan masa depan anaknya. Cerita Jenna menggambarkan perasaan bersalah yang sering dirasakan banyak anak, kayak tekanan buat sukses bukan cuma buat diri sendiri, tapi juga biar tidak mengecewakan orang tua. Ini adalah siklus yang sering banget terjadi di banyak keluarga tanpa mereka sadari, dan buku ini bener-bener menunjukkan gimana tekanan seperti ini bisa menciptakan beban yang berat banget.
Ada satu hal lagi yang aku suka dari buku ini, yaitu gimana buku ini mempertanyakan gagasan meritokrasi yaitu keyakinan kalau kesuksesan itu cuma soal kecerdasan dan kerja keras. Awalnya, Jenna percaya banget kalo dia bekerja keras, pasti dia bakal sukses. Tapi seiring cerita berjalan, dia mulai sadar kalo privilege, uang, dan koneksi itu ternyata punya peran yang besar banget dalam menentukan siapa yang dapat kesempatan. Meskipun Jenna dan Jessica sama-sama bekerja keras, tetap ada orang-orang yang punya keuntungan cuma karena latar belakang mereka. Buku ini menunjukkan realitas pahit di mana banyak siswa berbakat yang menemui kesulitan, bukan karena mereka tidak pintar atau karena malas, tapi karena mereka tidak punya fasilitas yang sama seperti siswa yang lebih kaya. Bagian ini bikin buku ini terasa lebih relevan, apalagi di dunia sekarang, di mana dapat pekerjaan bagus seringkali bukan cuma soal skill aja.
Intinya, I Am Not Jessica Chen adalah cerita tentang kehilangan jati diri saat kita berusaha memenuhi ekspektasi orang lain. Saat Jenna bangun dan tiba-tiba menjadi Jessica, dia akhirnya merasakan gimana jadi siswi yang “sempurna”, dikagumi, pintar, dan sukses. Tapi, bukannya merasa bahagia, dia malah mulai kehilangan dirinya sendiri, hingga orang-orang mulai lupa dengan Jenna yang asli. Ini menunjukkan gimana terlalu keras berusaha buat menyesuaikan diri dengan standar orang lain malah membuat kita kehilangan hal-hal yang membuat kita unik. Buku ini mengingatkan kita kalau masyarakat sering banget melihat kesuksesan cuma dari nilai bagus, gengsi, dan status, padahal sebenarnya kesuksesan itu harusnya kita yang mendefinisikan sendiri.
Hal lain yang disoroti buku ini adalah ekspektasi tidak realistis yang sering dibebankan ke perempuan. Jessica tidak cuma diharapkan untuk pintar, tapi juga harus cantik, sopan, dan sempurna tanpa usaha. Ini menggambarkan tekanan yang dihadapi banyak perempuan, apalagi di lingkungan yang kompetitif. Buku ini menunjukkan standar ganda yang harus dihadapi para perempuan, di mana mereka dinilai dari segala hal, mulai dari prestasi sampai penampilan dan kepribadian. Meskipun Jessica kelihatannya punya segalanya, cerita ini menunjukkan kalau hidupnya tidak semudah yang terlihat)
THINGS I LOVE
■I can feel Jenna’s struggles with academic pressure, parental expectations, and self-worth. This book does a great job showing how, in many families, success feels like the only thing that matters. It also reminds us that high school achievements don’t define our entire future, which is something I wish I had heard more often growing up.
■This story isn’t just about personal struggles, it also points out how success isn’t always about just working hard. Sometimes, *0privilege, money, and connections make a huge difference. This book also touches on classism, racism, and the pressure on children of immigrants, which makes it feel very real and relevant.
■The relationships in this book feel authentic, especially Jenna and Jessica’s. I like how Jenna’s view of Jessica changes over time, at first, she sees her as perfect, but later, she realizes Jessica has her own problems. Their rivalry isn’t just petty jealousy, it actually shows how misunderstanding someone’s life can make us feel inadequate.
■If you grew up in an Asian family, a lot of the family moments in this book will feel very familiar: Parents expecting top grades, no excuses, just study harder. The never-ending comparisons “Your cousin got into Harvard, why can’t you?”. Success = Family pride because achievements aren’t just for you, they reflect on your whole family. Parents may not say “I love you” much, but they show it in their own way. Financial stability over passion like choosing a “safe” career is often valued more than following a dream.
(■Aku benar-benar bisa merasakan perjuangan Jenna menghadapi tekanan akademis, ekspektasi orang tua, dan harga dirinya. Buku ini berhasil menunjukkan gimana, di banyak keluarga, kesuksesan jadi kayak satu-satunya hal yang penting. Buku ini juga mengingatkan kita kalau prestasi di sekolah tidak menentukan masa depan kita sepenuhnya, sesuatu yang aku harap aku denger lebih sering saat masih kecil dulu.
■Cerita ini nggak cuma tentang perjuangan individu, tapi juga menunjukkan gimana kesuksesan tidak selalu tentang kerja keras doang. Kadang, privilege, uang, dan koneksi yang membuat perbedaan besar. Buku ini juga menyentuh soal klasisme, rasisme, dan tekanan pada anak-anak imigran, yang bikin ceritanya terasa nyata dan relevan banget sama kehidupan nyata.
■ Aku suka gimana pandangan Jenna tentang Jessica berubah seiring waktu. Awalnya, dia melihat Jessica sebagai sosok yang sempurna, tapi lama-lama dia sadar kalau Jessica juga punya masalahnya sendiri. Persaingan mereka bukan cuma soal kecemburuan sepele, tapi lebih ke gimana salah paham tentang kehidupan orang lain bisa bikin kita merasa nggak mampu.
■Kalau kamu tumbuh di keluarga Asia, banyak momen keluarga di buku ini bakal terasa familiar banget: Orang tua mengharapkan nilai tertinggi, nggak ada alasan, harus belajar lebih giat. Perbandingan yang nggak ada habisnya, kayak, "Sepupumu diterima di Harvard, masa kamu nggak bisa?". Kesuksesan = kebanggaan keluarga, karena prestasi kamu bukan cuma buat kamu, tapi buat seluruh keluarga. Orang tua mungkin jarang bilang "Aku sayang kamu", tapi mereka menunjukkan dengan cara mereka sendiri. Stabilitas finansial lebih penting daripada passion, kayak milih karir yang "aman" daripada mengejar mimpi.)
THINGS I DON'T LIKE
■Since this book is labeled dark academia, I expected it to go deeper into perfectionism, academic pressure, and identity struggles, especially after Jenna swaps bodies with Jessica. But instead of diving into darker psychological themes, the story stays pretty light and feel-good. Even the setting and tone don’t feel particularly dark, which makes it feel different from other dark academia books.
■Once Jenna becomes Jessica, the story starts feeling repetitive. It’s mostly just Jenna experiencing success and admiration over and over, without much tension or big developments for a while. This makes the middle part of the book feel slow and uneventful.
■This book hints that Jessica has her own hidden struggles, but it doesn’t go deep into them. Since she’s such an important character, I wish we had seen more of her pressures and inner conflicts, instead of just getting vague hints.
■ One thing that really bothered me was how Jenna was missing for weeks, but her parents were panicked because she was missing earlier that morning. Did her emptied bedroom remain empty or magically come back like before? Her classmates barely reacted, which made the ending feel rushed and unrealistic. It would have made more sense if Jenna and Jessica were back to a time before her disappearance.
■This book covers important themes, but it didn’t feel as impactful as some of the author’s previous works. The characters, especially Jessica, could have been developed more, and the romance wasn’t very memorable (though I love Aaron, our other green flag boy). Maybe I’ve just getting old, because this book has lesser impact on me compared to her other books did.
(■Karena buku ini diberi label dark academia, aku berharap bakal ada pembahasan lebih dalam soal perfeksionisme, tekanan akademis, dan perjuangan soal identitas, apalagi setelah Jenna menjadi Jessica. Tapi, bukannya mendalami tema psikologis yang lebih gelap, ceritanya malah tetap ringan dan menyenangkan. Bahkan latar sama nadanya tidak terlalu gelap, yang bikin buku ini terasa beda dari buku dark academia lainnya.
■Begitu Jenna jadi Jessica, ceritanya mulai terasa agak repetitif. Sebagian besar cerita cuma tentang Jenna yang merasakan kesuksesan dan kekaguman berulang kali, tanpa banyak ketegangan atau perkembangan besar buat sementara waktu. Ini bikin bagian tengah buku terasa agak lambat dan kurang ada kejadian penting.
■Buku ini ngasih hint kalau Jessica punya masalah tersendiri, tapi tidak begitu dibahas lebih dalam. Padahal dia karakter yang penting banget, jadi aku berharap bakal lihat lebih banyak tekanan dan konflik internalnya, bukan cuma dikasih petunjuk yang samar-samar.
■Satu hal yang bener-bener bikin kepikiran adalah gimana Jenna bisa hilang selama berminggu-minggu, tapi pas dia balik, orang tuanya panik karena dia mendadak hilang dari kamarnya pagi itu. Apakah kamar Jenna yang sudah dikosongkan juga tetap kosong atau secara ajaib jadi balik awal? Teman-temannya hampir nggak ada reaksi juga, yang bikin akhir cerita terasa terburu-buru dan kurang realistis. Mungkin lebih masuk akal kalau Jenna dan Jessica balik ke masa sebelum dia hilang.
■Buku ini membahas tema-tema penting, tetapi tidak terasa berdampak seperti beberapa karya penulis sebelumnya. Karakter-karakternya, terutama Jessica, bisa lebih dikembangkan, dan kisah asmaranya tidak terlalu berkesan (meskipun saya menyukai Aaron, anak laki-laki berbendera hijau lainnya). Mungkin saya sudah mulai tua, karena buku ini tidak terlalu berdampak pada saya dibandingkan dengan buku-bukunya yang lain.
■Buku ini emang bahas tema-tema penting, tapi nggak terasa se-impactful kayak karya penulis ini sebelumnya. Karakter-karakternya, terutama Jessica, bisa lebih dikembangkan lagi, dan romancenya kurang berkesan (meskipun aku suka sama Aaron, another cowok green flag). Mungkin aku sudah mulai tua, soalnya buku ini nggak terlalu ngena buat aku dibandingkan dengan buku-buku penulis ini yang lainnya.)
CONCLUSION
Overall, this book does a great job of exploring academic pressure, self-worth, and the unrealistic expectations placed on young people, especially in Asian families. Through Jenna’s journey, it shows how dangerous it can be to constantly compare yourself to others, how flawed society’s definition of success is, and how even the people who seem perfect have their own struggles. Even though the story is more lighthearted than I expected for a dark academia book, it still offers meaningful insights into family and privilege. The pacing feels slow at times, and I wish Jessica’s struggles and the ending were explored more, but this book’s relatable themes kept me invested. It’s a reminder that success isn’t just about achievements, it’s about finding happiness in your own way.
(Secara keseluruhan, buku ini berhasil mengeksplorasi tekanan akademis, harga diri, dan ekspektasi tidak realistis yang sering dibebankan ke anak muda, apalagi dalam keluarga Asia. Lewat perjalanan Jenna, buku ini menunjukkan betapa bahayanya kalau kita terus-terusan membandingkan diri sendiri dengan orang lain, betapa cacatnya definisi kesuksesan yang masyarakat tetapkan, dan gimana bahkan orang yang kelihatannya sempurna pun punya masalah mereka sendiri. Meskipun ceritanya lebih ringan dari yang aku harapkan buat buku dark academia, buku ini tetap memberikan pelajaran penting tentang keluarga dan privilege. Kadang alurnya terasa agak lambat, dan aku berharap perjuangan Jessica dan akhir ceritanya dibahas lebih dalam. Tapi, tema-tema relevan di buku ini bikin aku tetap tertarik. Buku ini mengingatkan kita kalau kesuksesan bukan cuma tentang pencapaian, tapi juga tentang menemukan kebahagiaan dengan cara kita sendiri. Jadi, meskipun ada beberapa hal yang bisa lebih dikembangkan, buku ini tetep worth it buat dibaca, apalagi buat yang pernah merasakan tekanan kayak gini. Bikin kita mikir ulang tentang arti kesuksesan yang sebenernya!)
0 Comments
don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!
Note: only a member of this blog may post a comment.