“I find myself wondering what it even means for me to die if I don't remember anything and nobody knows who I was.”
The Lantern of Lost Memories by Sanaka Hiiragi is a unique and touching book about life, death, and memories. It takes place in a mysterious photo studio run by Mr. Hirasaka, a man who doesn’t remember anything about his past. His job is to help the dead relive their most precious memories before they move on. When someone enters the studio, they get to pick a camera and return to a specific moment in their life to capture it one last time. As each person revisits their past, they face emotions like happiness, regret, and love, which helps them find peace.
(The Lantern of Lost Memories oleh Sanaka Hiiragi adalah kisah yang unik dan bikin baper, tentang kehidupan, kematian, dan kenangan-kenangan yang tersimpan. Ceritanya berada di sebuah studio foto misterius yang dijalankan Pak Hirasaka. Nah, Pak Hirasaka ini unik juga, soalnya dia nggak ingat apa-apa tentang masa lalunya sendiri. Tugasnya adalah membantu orang-orang yang sudah meninggal untuk mengulang kenangan paling berharga mereka sebelum mereka benar-benar pergi. Kalau ada yang masuk ke studio itu, mereka bisa milih kamera dan kembali ke momen spesial dalam hidup mereka buat mengabadikannya sekali lagi. Pas mereka lagi bernostalgia, mereka bakal ngerasain berbagai emosi, kayak bahagia, penyesalan, atau cinta. Nah, lewat proses itu, mereka akhirnya bisa menemukan kedamaian.)
BOOK INFORMATION
Title : The Lanterns of Lost Memories
Original title : 人生写真館の奇跡
Translator : Jesse Kirkwood
Author : Sanaka Hiiragi
Publisher : Grand Central Publishing
Language : English
Length : 224 pages
Released : September 17, 2024
Read : February 2-9, 2025
GR Rating : 4.06
My rating : 4.00
BOOK REVIEW
The Lantern of Lost Memories is a quiet yet meaningful story about a magical photo studio where the dead get one last chance to revisit their most treasured memories. Instead of focusing on big moments, this book shows ordinary but powerful interactions, simple conversations, everyday routines, and personal connections that truly change a person’s life. Reading this made me realize how easy it is to overlook these moments, even though they’re often the ones that matter the most.
One of the things I love about this book is its message about how we are remembered. The memories we create and share with others define our legacy. So many people chase big achievements, and think that’s what gives life meaning, but this story suggests that meaning is found in the little things, like kindness, shared laughter, and the way we treat others. In a world that constantly pushes us to be busy and successful, this book is a reminder to slow down, appreciate the present, and cherish the people around us.
Even though this book talks about death and the afterlife, it doesn’t feel sad or heavy. Instead, it has a calm and comforting tone, by showing that death isn’t really the end, it’s just a continuation of our journey through the memories we leave behind. This story makes you think about how the people we love live on in our hearts, which is a really beautiful way of looking at loss and remembrance.
When people go back to their most precious memories, it’s not just about reliving the past, but it’s a chance for them to understand themselves better and find closure. Even though some of them have regrets, looking back helps them accept what happened and find meaning in it. I think that’s really relatable because we all have moments we wish we could revisit or words we wish we had said.
In today’s world, it’s easy to get caught up in work, school, or social media and forget to appreciate the people around us. This book is a reminder to express how we feel while we still can, whether it’s telling someone we love them, fixing a misunderstanding, or just being present in the moment. It made me think about how we often wait for the "right time" to do things, but that perfect moment may never come. Instead of putting things off, we should cherish the present and the people in our lives.
As the characters go through their memories, they realize what truly mattered to them and how those moments shaped who they became. This book makes us think about our own life in the same way, what moments have defined us, what choices led us to where we are now, and what we might have overlooked. It’s a reminder that even though life keeps moving forward, reflecting on the past can help us understand ourselves better and appreciate the present more.
(The Lantern of Lost Memories ini ceritanya simpel tapi dalem banget. Bayangin, ada studio foto ajaib di mana orang-orang yang sudah meninggal bisa balik lagi ke kenangan paling berharga mereka. Yang bikin keren, ceritanya nggak fokus ke momen-momen besar, tapi justru ke hal-hal sederhana kayak obrolan biasa, rutinitas sehari-hari, atau hubungan personal yang ternyata bener-bener bisa mengubah hidup seseorang. Pas baca ini, aku jadi sadar gimana kita sering banget mengabaikan momen-momen kecil kayak gitu, padahal itu lho yang sebenernya paling berarti.
Salah satu hal yang aku suka dari buku ini adalah pesannya soal gimana kita bakal dikenang. Kenangan yang kita ciptakan dan bagikan ke orang lain itu menentukan peninggalan kita. Banyak orang yang sibuk mengejar prestasi besar, karena mereka pikir itu yang bikin hidup bermakna, tapi cerita ini justru memberi tahu kita kalau makna hidup itu ada di hal-hal kecil kayak kebaikan, ketawa bareng, atau cara kita memperlakukan orang lain. Di dunia yang selalu maksa kita buat sibuk dan sukses, buku ini kayak pengingat buat kita untuk pelan-pelan menikmati momen saat ini, dan menghargai orang-orang di sekitar kita.
Meskipun ceritanya tentang kematian dan akhirat, tapi nggak bikin sedih atau berat. Malah rasanya tenang dan nyaman. Soalnya cerita ini menunjukkan kalau kematian itu bukan akhir, tapi lebih kayak lanjutan perjalanan kita lewat kenangan yang kita tinggalkan. Buku ini bikin kita mikir kalau orang-orang yang kita sayangi itu tetap hidup di hati kita, dan itu cara yang cantik banget buat melihat kehilangan dan kenangan.
Ketika orang-orang di cerita ini balik ke kenangan paling berharga mereka, ini nggak cuma sekadar nostalgia, tapi juga kesempatan buat mereka mengerti diri sendiri lebih dalam dan menemukan akhir. Meskipun beberapa dari mereka punya penyesalan, dengan melihat masa lalu bisa membantu mereka menerima apa yang sudah terjadi dan menemukan makna di baliknya. Menurutku ini relate banget, soalnya kita semua pasti punya momen yang pengen kita ulang lagi atau kata-kata yang pengen kita ucapin tapi nggak kesampaian.
Di dunia sekarang, gampang banget kita terjebak sama kerjaan, sekolah, atau media sosial sampai lupa buat menghargai orang-orang di sekitar kita. Buku ini kayak pengingat buat kita buat mengungkapkan perasaan selagi masih ada kesempatan, entah itu bilang “aku sayang kamu”, menyelesaikan kesalahpahaman, atau sekadar hadir di momen saat ini. Buku ini bikin aku mikir, kita sering nunggu "waktu yang tepat" buat melakukan sesuatu, padahal momen yang sempurna itu mungkin nggak pernah dateng. Daripada menunda-nunda, mending kita nikmatin aja momen sekarang dan menghargai orang-orang yang ada di hidup kita.
Ketika para tokoh di cerita ini melihat lagi kenangan mereka, mereka sadar hal-hal apa yang benar-benar penting buat mereka dan gimana momen-momen itu membentuk diri mereka. Buku ini bikin kita mikir juga tentang hidup kita sendiri, momen apa yang udah mendefinisikan kita, pilihan-pilihan apa yang membawa kita ke titik ini, dan hal-hal apa yang mungkin kita lewatkan. Ini kayak pengingat kalau meskipun hidup terus berjalan, merenungkan masa lalu bisa membantu kita untuk mengerti diri sendiri lebih baik dan lebih menghargai apa yang kita punya sekarang.)
THINGS I LOVE
■One of the things I love about this book is how it talks about life, death, memories, and regrets in a way that feels emotional but not too heavy. Even though this book deals with difficult topics like child abuse and bullying, it handles it with care.
■The idea of a magical photo studio where the dead can relive their most precious memories is so unique and emotional. I love how they’re not just watching memories, but they actually get to go back, experience them again, and even retake blurred photos to capture the moment properly. They can also pick a camera that suits them. And with Mr. Hirasaka guiding them through the whole process, it becomes even more special and meaningful.
■Speaking of Mr. Hirasaka, he’s one of my favorite things about the book. He wasn’t some wise old mentor or legendary figure, but a regular guy who somehow ended up running this mysterious studio. That makes him feel both relatable and intriguing. It also gives this story a really nice message that even ordinary people can have a huge impact on others, sometimes in ways they never expected. His presence in this book really makes you think about how even small actions can bring comfort and meaning to someone’s life.
(■Salah satu hal yang aku suka dari buku ini adalah cara dia ngomongin tentang hidup, kematian, kenangan, dan penyesalan dengan cara yang emosional tapi nggak bikin berat banget. Meskipun buku ini mengangkat topik-topik berat kayak kekerasan anak dan bullying, semuanya dibahas dengan hati-hati dan nggak terasa dipaksakan.
■Ide soal studio foto ajaib di mana orang yang sudah meninggal bisa mengulang kenangan paling berharga mereka itu unik banget dan emosional. Aku suka gimana mereka nggak cuma menonton kenangan itu kayak film, tapi beneran bisa balik ke masa itu, ngerasain lagi, bahkan mengambil ulang foto yang blur biar momennya terabadikan dengan benar. Mereka juga bisa milih kamera yang cocok buat mereka. Ditambah lagi, ada Pak Hirasaka yang nemenin mereka selama proses itu, yang bikin semuanya terasa lebih spesial dan bermakna.
■Ngomongin soal Pak Hirasaka, dia salah satu hal favorit aku di buku ini. Dia nggak kayak mentor bijak yang kayak legenda atau tokoh besar, tapi orang biasa yang somehow malah mengelola studio misterius ini. Itu bikin dia terasa relate banget tapi tetep misterius. Ceritanya juga memberi pesan keren bahwa orang biasa pun bisa punya dampak besar buat orang lain, kadang dengan cara yang nggak pernah mereka duga. Kehadiran Pak Hirasaka di buku ini bikin kita mikir, bahkan tindakan-tindakan kecil aja bisa ngasih kenyamanan dan makna buat hidup seseorang.)
THINGS I DON'T LIKE
One thing that really left me confused was Mr. Hirasaka’s role in the photo studio. When this book finally explains why he lost his memories, it actually raises more questions than answers. I wonder, before that event, he was supposed to be a regular soul, just like everyone else who passed through the studio. But instead of moving on and watching his own lantern of memories, he somehow ended up running the studio and helping others. Why is he stuck there? What makes him different from the others who get to move on? And if he wasn’t the first person in this role, then who was running the photo studio before him? This book never really explains this, which makes his whole situation feel a bit unclear.
(Ada satu hal yang bikin aku bingung, yaitu peran Pak Hirasaka di studio foto ini. Pas buku ini akhirnya jelasin kenapa dia kehilangan ingatannya, malah bikin muncul lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Aku nebak-nebak, sebelum kejadian itu, berarti dia cuma jiwa biasa kayak orang-orang lain yang lewat studio itu. Tapi, bukannya bisa lanjut dan menonton lentera kenangannya sendiri, dia malah berakhir mengurus studio itu dan bantu orang lain. Nah, ini yang bikin aku penasaran kenapa dia kayak terjebak di sana. Apa yang bikin dia beda dari yang lain yang bisa lanjut? Terus, kalau dia bukan orang pertama yang ngelakuin peran ini, siapa dong yang mengurus studio foto ini sebelum dia? Buku ini nggak pernah benar-benar jelasin, jadi situasinya Pak Hirasaka tuh terasa agak nggak jelas.)
CONCLUSION
The Lantern of Lost Memories is a beautiful story that makes us reflect on life, death, and the importance of memories. The idea of a magical photo studio where the dead can relive their most precious moments is both creative and comforting. It reminds us to appreciate the little things in life and to express our feelings while we still have the chance. Even though I do wish the book had explained more about Mr. Hirasaka’s role, the overall story is emotional and meaningful. In the end, it leaves a message that life isn’t just about big achievements, but it’s about the moments we share and the people we love.
(The Lantern of Lost Memories adalah cerita yang indah dan bikin kita mikir tentang kehidupan, kematian, dan betapa pentingnya kenangan. Ide soal studio foto ajaib di mana orang yang sudah meninggal bisa mengulang momen-momen berharga mereka itu kreatif banget dan bikin hati adem. Ceritanya juga ngingetin kita buat lebih menghargai hal-hal kecil dalam hidup dan mengungkapkan perasaan selagi masih ada kesempatan. Meskipun aku agak penasaran pengen tahu lebih banyak soal peran Pak Hirasaka, secara keseluruhan ceritanya emosional dan penuh makna. Intinya, buku ini memberi pesan kalau hidup itu nggak cuma tentang pencapaian-pencapaian besar, tapi lebih ke momen-momen yang kita bagi sama orang-orang yang kita sayang.)
0 Comments
don't use this comment form, use the embedded disqus comment section. No spam!
Note: only a member of this blog may post a comment.